PENDEKATAN FENOMENOLOGI
DALAM
PENGEMBANGAN PSIKOLOGI
Oleh:
muhibalwi@yahoo.com
Abstraksi
Ilmu psikologi yang selama ini masih dipandang
sebelah mata oleh sebagaian orang, dimana mereka menganggap psikologi sebagai
ilmu meramal dan menduga-duga saja perlu menunjukkan eksistensinya sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang menggunakan pendekatan empiris dan obyektif. Oleh
karena itu, penulis berasumsi bahwa pendekatan yang dikembangkan oleh
pendekatan fenomenologis memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
pengembangan ilmu psikologi.
Metode fenomenologis terdiri
dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan
kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode
fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan obyek dari kesadaran,
umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau disukai.
Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir
dalam kesadaran. Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang sistematis,
melalui berbagai langkah atau teknik, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Spiegelberg dalam phenomenology
Movement (1971) yang memerinci tujuh langkah yang terdapat dalam metode
fenomenologis. Dimana dari tujuh langkah yang dia kemukakan, yang paling
mendasar dan digunakan secara luas, juga oleh para ahli psikologi adalah: deskripsi
fenomenologis.
Kata
Kunci: Pendekatan Fenomenologi, Pengembangan Psikologi
A. PENDAHULUAN
Beberapa
tahun terakhir ini, dilingkungan Psikologi Amerika muncul suatu gerakan baru
yang bisa dikarakterisasi sebagai protes, tantangan, pelengkap, perluasan, atau
alternative, baik bagi Psikologi behavioristik maupun psikoanalisa. Gerakan baru ini sering disebut kekuatan ketiga dalam
psikologi kontemporer Amerika. Gerakan ini memperoleh pengakuan dari sejumlah
besar peminat psikologi, baik di kalangan psikolog generasi lama maupun
generasi baru. Meskipun pertumbuhan dan penyebarannya mengambil bentuk-bentuk
yang berbeda, sumber-sumber gerakan ini tetaplah tradisi-tradisi fenomenologi
dan eksistensial. Dimana pengaruh dari keduanya memasuki lapangan-lapngan
keilmuan, seperti sastra, seni, sosiologi, hukum, antropologi, teologi, dan
terutama psikologi dan psikiatri.
Pengaruh dari gerakan fenomenologi dan eksistensial pada
pemikiran psikologi Eropa menampakkan diri dalam kecenderungan yang disebut
psikologi fenomenologi, psikologi eksistensial, atau psikologi
fenomenologi-eksistensial. Dimana pada akhir tahun 1950-an memperoleh dukungan
yang sangat kuat dari kekuatan ketiga dalam psikologi Amerika yang dibangun
sebagai alternatif bagi aliran behaviorisme dan aliran psikoanalis dalam
keilmuan psikologi.[ii]
David Katz (1950) tokoh Psikologi Eropa, mengatakan bahwa
pemahaman akan psikologi kontemporer membutuhkan pemahaman tentang metode
fenomenologi, yaitu suatu metode didalam filsafat ilmu yang melakukan pengujian
terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain,
terhadap data atau fenomena kesadaran. Dimana sasaran utama metode fenomenologis
bukanlah tindakan kesadaran, melainkan obyek dari kesadaran, misalnya: segenap
hal yang dipersepsikan, dibayangkan, diragukan, atau disukai. Tujuan utamanya
adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam
kesadaran.(Misiak, 2005)
Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang
sistematis, melalui berbagai langkah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Spiegelberg
dalam phenomenology Movement (1971)[iii] yang memerinci tujuh langkah yang terdapat
dalam metode fenomenologis. Dimana dari tujuh langkah yang dia kemukakan, yang
paling mendasar dan digunakan secara luas, juga oleh para ahli psikologi
adalah: deskripsi fenomenologis. Menurut penafsiran dan terminologi
Spiegelberg, deskripsi fenomenologis dapat dibagi kedalam tiga fase, yaitu:
1. Mengintuisi, artinya mengonsentrasikan diri secara intens atau
merenungkan fenomena yang ada.
2. Menganalisis, yaitu menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok
dari fenomena yang ada dan bagaimana hubungannya dengan berbagai hal
3. Menjabarkan, adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan
dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain.
Menilik
dari tiga fase diatas, dapat dipahami bahwa syarat utama bagi keberhasilan
penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga
atau pengandaian-pengandaian yang tidak didasarkan pada fenomena riel, sehingga
segala bentuk kebenaran selalu didasarkan pada keberadaan fenomena yang riel
guna mencapai esensi-esensi dari fenomena. Dan pencapaian esensi-esensi dari
fenomena itu merupakan prasyarat dan landasan yang sangat diperlukan bagi
segenap ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, termasuk didalamnya adalah ilmu
psikologi.
B. PEMBAHASAN
B.I. Pengertian Fenomenologi
Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon,
yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercahaya, yang didalam bahasa
Indonesia disebut gejala. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang
mebicarakan fenomena, atau segala sesuatu yang menampakkan diri (Hadiwijoyo,
2002).
Kata fenomenon (disingkat: fenomen) atau gejala
dapat dipakai dalam bermacam-macam arti. Kata fenomen atau gejala dapat
dipertentangkan dengan ”kenyataan”: fenomena bukanlah hal yang nyata, tetapi
hal yang semu. Demikianlah kata fenomen dapat berarti ”semu”. Kecuali itu kata
fenomen dapat dipakai sebagai lawan ”bendanya sendiri”, sehingga fenomen atau
gejala berarti ”penampakan”. Juga kata fenomen dapat dipakai untuk
mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang dapat diamati dengan indera. Dalam arti
ini kata fenomen dipakai didalam ilmu pengetahuan alam. Namun didalam filsafat
fenomenologi ketiga arti fenomen ini tidak dipakai. Menurut para filusuf
pengikut fenomenologi suatu fenomen tidak perlu harus dapat diamati dengan
indera, sebab fenomen dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani, tanpa
melewati indera. Juga fenomen tidak perlu peristiwa. Untuk sementara dapat
dikatakan, bahwa menurut para filusuf
pengikut fenomenologi fenomen adalah ” apa yang menampakkan diri dalam
dirinya sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, atau apa yang
jelas dihadapan kita.[iv]
Pelopor filsafat fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938). Ia
dilahirkan di Prosswitz (Moravia), sebuah kota yang waktu itu termasuk wilayah
kekaisaran austria dan sekarang berada di wilayah Cekoslowakia. Pada awalnya ia
belajar ilmu pasti, yaitu matematika dan ilmu pengetahuan alam di Wina. Tetapi
kemudian ia berpindah studi ke filsafatdan secara berturut-turut ia menjabat
guru besar di Universitas Halle, Universitas Gottingen dan Universitas Freiburg.
Banyak buah karyanya, akan tetapi belum semuanya
diterbitkan. Diantaranya yang telah diterbitkan adalah: Logiche
Untersuchungen (penyelidikan-penyelidikan yang logis) (1900-1901), Ideen
zu einer reinen Phanomenologie (Idea-idea bagi bagi suatu fenomenologi yang
murni) (1913), Formale und transzendentale logik (logika yang
formal dan transendental) (1929) dan Erfahrung und urteil ( pengalaman
dan pertimbangan) (1930). (dalam Hadiwijono, 2002)
Menurut Husrel hukum-hukum logika yang memberi kepastian
dan yang berlaku tidak mungkin bersifat a posteriori sebagai hasil
pengalaman, tetapi bersifat a priori. Umpamanya asas pemikiran yang
berbunyi : A tak mungkin sekaligus A dan bukan A, artinya, tidak mungkin bahwa
jikalau A ádalah A, maka A sekaligus juga bukan A. Asas pemikiran ini tetap
berlaku, juga seandainya tidak ada seorangpun yang memikirkannya. Hal ini sama
dengan kenyataan, bahwa 2 X 2 = 4. Juga seandainya tiada seorangpun yang
menghitungnya, patokan itu tetap berlaku secara pasti. Oleh karena itu logika
sejenis dengan ilmu pasti, karena cara hukum-hukumnya berlaku adalah sama. Dari
apa yang dikemukakan tersebut tampak juga bahwa hukum-hukum logika tidak
mengungkapkan bagaimana orang harus berpikir. Logika bukanlah hukum yang
normatif. Logika adalah semata-mata ”Sachgesetze” hukum yang mengenai ”
yang ada ”. Hukum-hukum logika berkaitan dengan hal-hal yang ideal, yang
mengatasi segala struktur, yang hakiki. Yang dibicarakan didalam logika bukan
pertimbangan manusia yang konkrit, melainkan isi pertimbangan itu, atau artinya
(Bedeutung), yang termaktuk tertib ideal. Demikianlah logika memiliki
bidangnya sendiri, yaitu bidang arti (Bedeutung) Jikalau kita dapat
menagkap suatu pengertian atau suatu pertimbangan, yang kita tangkap adalah
artinya.
Didalam kehidupan sehari-hari kita yakin bahwa suatu
pengertian (misalnya: meja, kursi, rumah, dan sebagainya) bersifat obyektif,
artinya: yang kita sebut dalam pengertian itu adalah sesuatu yang benar-benar
ada diluar kita. Hal ini disebabkan karena setiap hari kita mengalami dunia
yang diluar kita itu, dan setiap hari kita mengamatinya. Disini kita sadar akan
adanya obyek atau sasaran diluar diri kita yang dihubungkan dengan kesadaran
kita melalui pengamatan, dimana obyek atau sasaran itu benar-benar kita
tangkap. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pengamatan menghubungkan kesadaran
dengan benda-benda atau obyek di luar kita[v].
Fenomena kesadaran itu sangat banyak dan beragam:
benda-benda, orang-orang, kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman,
ingatan-ingatan, pemikiran-pemikiran, suasana-suasana hati (moods),
perasaan-perasaan, gambaran-gambaran, khayalan-khayalan, susunan-susunan
mental, dan sebagainya. Fenomenologi mencatat fenomena itu dan
mengeksplorasikannya melalui metode khusus yang disebut metode fenomenologis.
Husrel bukanlah penemu atau filusuf pertama yang
menggunakan metode fenomenologis, melainkan sebagai penyempurna yang
menspesifikasi kondisi-kondisi dan obyek-obyeknya, serta mengangkat status
metode fenomenologi itu sebagai suatu prosedur filosofis yang fundamental.
B.II. Metode Fenomenologis
Metode
fenomenologis terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam
kesadaran atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran
utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan obyek dari
kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau
disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang
hadir dalam kesadaran. Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang
sistematis, melalui berbagai langkah atau teknik, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Spiegelberg dalam phenomenology Movement (1971) yang memerinci
tujuh langkah yang terdapat dalam metode fenomenologis. Dimana dari tujuh
langkah yang dia kemukakan, yang paling mendasar dan digunakan secara luas,
juga oleh para ahli psikologi adalah: deskripsi fenomenologis. Menurut penafsiran dan terminologi
Spiegelberg, deskripsi fenomenologis dapat dibagi kedalam tiga fase, yaitu:
1. Mengintuisi, artinya mengonsentrasikan diri secara intens atau
merenungkan fenomena yang ada.
2. Menganalisis, yaitu menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok
dari fenomena yang ada dan bagaimana hubungannya dengan berbagai hal yang ada.
3. Menjabarkan, adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan
dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain.
Langkah
yang lain dari metode fenomenologis adalah Wessenschau (pemahaman
terhadap esensi-esensi), Experience or cognition of essences (pengalaman
atau kognisi tentang esensi-esesnsi). Akan tetapi Speigelberg menerjemahkan
istilah Wessenschau sebagai “pengintuisian esnsi-esensi” (intuiting
of essences). Pengintuisian esensi-esensi disebut juga “pengintuisian
eidetic” (eidetic intuiting), dimana fungsi pengintuisian eidetic adalah
untuk menangkap atau mencapai esensi-esensi berbagai hal melalui fenomena. Pencapaian
esensi biasanya menyertakan survey atas sesuatu yang memperluasnya menjadi
lebih umum.[vi]
Syarat
utama bagi keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri
dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian yang tidak didasarkan pada
fenomena riil, sehingga segala bentuk kebenaran selalu didasarkan pada
keberadaan fenomena yang riil. Adalah merupakan suatu keharusan dalam mengeksplorasi
kesadaran itu seluruh penyimpangan, teori-teori, keyakinan-keyakinan, dan
corak-corak berpikir yang telah menjadi kebiasaan harus disingkirkan. Karena
dengan cara seperti itu, eksplorasi atas fenomena bisa diharapkan membawa
hasil, sebab dengan cara demikian fenomena tidak dikaburkan atau tidak
didistorsi oleh sifat-sifat individual. Sehingga pencapaian esensi-esensi
fenomena itu bisa didapatkan, dimana pencapaian esensi-esensi fenomena itu
merupakan prasyarat dan landasan yang diperlukan oleh segenap ilmu pengetahuan
empiris, termasuk didalamnya adalah ilmu pengetahuan psikologi (Hadiwijono,
2002).
B.III. Pengaruh Husserl terhadap Para Ahli Psikologi pada
Zamannya
Ketika para ahli Psikologi di Jerman, Austria, dan di
negara-negara lainnya mulai mengenal karya-karya Husserl, merekapun mulai
menunjukkan reaksinya. Sebagaian dari mereka menunjukkan reaksi senang,
sedangkan sebagain yang lainnya menunjukkan reaksi sebaliknya. Wilhelm Wundt,
yang oleh Husserl dikritik atas kecenderungannya yang kuat pada psikologisme, tidak tertarik
pada Husserl dengan fenomenologinya yang dipandangnya sebagai filsafat
skolastik. Edward Titchener (1867-1927), ahli psikologi Inggris yang menjadi
pendukung psikologi Wundt dan mendirikan psikologi strukturalisme setelah
bermukim di Amerika dan mengajar di Universitas Cornell, pada tahun 1912
menyatakan, ”tidak ada bentuk fenomenologi yang bisa menjadi benar-benar ilmiah”.
Setelah mengamati pengaruh Husserl yang begitu kuat terhadap psikologi, pada
tahun 1917 Titchener memutuskan untuk mempelajari fenomenologi Husserl. Dalam
bukunya yang berjudul Systematic Psychology: Prolegomena, Titchener
memperlihatkan kedekatannya dengan karya-karya utama Husserl dan membahas
pengaruhnya terhadap psikologi di Jerman dan austria, tetapi ia sendiri tidak
menemukan alasan untuk mengubah pandangan aslinya terhadap nilai fenomenologi
Husserl bagi psikologi. Meskipun demikian, terkesan oleh keberhasilan para ahli
psikologi gestalt dan fenomenologi eksperimental, Titchener kemudian
menganjurkan para mahasiswanya untuk mencoba memfenomenologikan psikologi dan
mempraktekkan deskripsi dan analisis fenomenologis di laboratorium psikologi Universitas
Cornell[vii].
Di Universitas Gottingen, tempat Husserl mengajar selama
15 tahun (1901-1916), terdapat George E.Muller (1850-1934), guru besar dan
direktur laboratorium psikologi yang aktif, serta memiliki pengaruh kedua
terbesar sesudah laboratorium Wundt di Leipzig. Jalan kedua orang ini terletak
di dunia yang terpisah, menurut Cart Spearman, seorang ahli psikologi Inggris
yang pernah tinggal sementara waktu di Gottingen. Dalam kenyataannya menurut
Spearman pula, satu hal yang tampaknya menjadi milik mereka berdua adalah
ketidakmampuan untuk saling menghargai. Akan tetapi sejumlah mahasiswa Muller
menghargai dan berada dibawah pengaruh fenomenologi Husserl.
Pada umumnya, generasi ahli psikologi Jerman dan Austria
yang lebih muda pada dua dasawarsa pertama abad ini memberikan respons kepada
Husserl dengan respon yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan respon
guru-guru mereka. Respon yang menyenangkan itu juga diberikan oleh para ahli
psikologi dan filsafat di negara-negara lain yang belajar di berbagai
universitas di Jerman. Deskripsi dan analisis enomenologis yang berasal dari
Husserl menemukan penerimaan yang luas di kalangan ahli psikologi eksperimental
Eropa. Banyak studi di Laboratorium psikologi Gottingen, dan di Wurzburg,
sebuah pusat pelatihan dan penelitian psikologi yang dipimpin oleh Oswald Kulpe
(1862-1915) yang menjadi simpatisan kepada Husserl. Karl Buhrel (1879-1963),
amat terkesan pada Husserl, dan itu adalah faktor yang tidak diragukan
pengaruhnya terhadap minat meneliti proses-proses berpikir yang ada pada Buhler
yang dilaksanakannya di laboratorium Wurzburg. Boring (1950) percaya bahwa
Buhler-lah yang memperkenalkan filsafat Husserl kepada Kulpe, yang pada
gilirannya memberikan kesan kepada Titchener bahwa fenomenologi Husserl sangat
mempengaruhi psikologi [viii].
Aron Gurwitsch yang mempelajari psikologi Gestalt,
menyadari kedekatannya dengan fenomenologi. Dia adalah orang yang berjasa dalam
menjadikan para ahli psikologi Gestalt lebih menyadari nilai fenomenologi
Husserl dan dia sangat menghargai psikologi fenomenologi dan secara terbuka
mengakui sumbangan-sumbangannya dalam mengembangkan psikologi Gestalt.
B.IV. Fenomenologi Psikologis
Istilah
fenomenologi psikologis menunjuk pada fenomenologi sebagai metode yang
diterapkan pada masalah-masalah psikologis atau digunakan pada penyelidikan
taraf psikologis. Dalam konteks ini, fenomenologi psikologis merupakan suatu
prosedur filsafat yang diarahkan pada pencapaian esensi berbagai hal dan pada
pengetahuan tentang realitas pokok. Fenomenologis psikologis adalah suatu
prosedur yang lebih terbatas dan spesifik, yang dirancang untuk mengeksplorasi
kesadaran dan pengalaman manusia yang segera atau langsung. Fenomenologi
psikologis bisa juga didefinisikan sebagai observasi dan deskripsi yang
sistematis atas pengalaman individu yang sadar dalam situasi tertentu. Karl
Jaspers mendefinisikan fenomenologi psikologis sebagai deskripsi yang paling
lengkap dan cermat mengenai apa yang dialami oleh orang yang sehat ataupun
orang yang sakit. Pengeksplorasian kesadaran menunjuk baik pada tindakan-tindakan
maupun pada isi-isi kesadaran dengan obyek-obyek dan makna-makananya. Data
fenomenal yang dieksplorasi mencakup persepsi-persepsi, perasaan-perasaan,
ingatan-ingatan, ganabaran-ganabaran, gagasan-gagasan, dan berbagai hal lainnya
yang hadir dalam kesadaran. Semua data fenomenal itu diterima dan
dideskripsikan sebagaiana adanya, tanpa pengandaian-pengandaian atau
transformasi-transformasi. Pengetahuan yang telah lewat, corak-corak berpikir,
dan penyimpangan-penyimpangan teoritis harus disingkirkan untuk sementara
waktu, agar kita bisa memandang dunia fenomenal dalam segenap kekayaan dan
kemurniannya. Robert Macleod menyebut sikap demikian sebagai sikap
kesederhanaan yang tertib.
B.V. Tradisi Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi bisa dijumpai pada segenap
periode sejarah psikologi, misalnya otobiografi abad ke-4, Confession, dimana
penulisnya St. Augustine (354-430) menyajikan penyelidikan yang mendalam dan
murni tentang pengalaman-pengalaman, emosi-emosi, ingatan-ingatan,
hasrat-hasarat, perasaan-perasaan, dan pemikiran-pemikiran yang dialaminya
sendiri. Kemudian banyak tulisa fenomenolog kontemporer yang mengacu kepadanya,
dan mengutip tulisan-tulisannya. Husserl sendiri dalam kuliahnya di Paris
mengutip pernyataan St. Augustine, ” Berpalinglah kepada dirimu sendiri, kebenaran
ada dalam diri manusia”
Pada abad ke-17, Descartes memulai pertanyaan
filosofisnya dengan kesangsian, menetapkan Cogito Ergo sum-nya sebagai
dasar bagi filsafatnya. Dualismenya yang radikal, dan psikologinya yang
dibangun diatas anggapan dikotomi pemikiran dan badan mekanis, menjadikan
metode fenomenologis sebagai metode bagi studi tentang wujud spiritual, pemikiran.
Dalam wujud psikologi pemikiran, psikologi Descartes memelihara dan memperkuat
pendekatan fenomenologis. Konsekeuensinya, para fenomenolog abad ke-20 banyak
membahas filsafat Descartes. Descartes telah menjadi titik acuan dimana para
fenomenolog mempertentangkan pandangan-pandangan mereka [ix].
Penggunaan deskripsi fenomenologis yang sistematis dan
efektif yang pertama adalah dalam studi tentang fenomena visual. Studi-studi
dari Goethe dan Purkinje pada awal abad ke-19 sering dikutip karena penggunaan metode
fenomenologisnya dalam penyelididkan fenomena visual. Goethe secara sistematis
dan terinci mempelajari fenomena warna subjectif, diantaranya bayangan dan
pengaruh-pengaruh warna-warana yang kontras terhadap persepsi warna. Setelah
Goethe, banyak penyelidik terkemuka lainnya seperti Hering, Stumpf, G.E.
Muller, David Katz, Wertheimer, Ach, dan Michotte, yang tertarik untuk
mempelajari berbagai fenomena penginderaan dan persepsi. Sementara Goethe tidak
mempercayai eksperimentasi dan menolak dengan gigih evidensi eksperimental
dalam upayanya mempertahankan pemeriksaan fenomenologis, para penerusnya dalam
menyelidiki fenomena penginderaan dan persepsi itu menggunakan eksperimen
laboratorium dan data eksperimental. Data eksperimental ini melengkapi
observasi-observasi fenomenologi dan berkaitan dengan data fisika dan
fisiologi. Konstruk-konstruk, seperti kekuatan warna, prisma penciuman, adalah
produk penelitian fenomenologis.
Meskipun pada pertengahan abad ke-19 penekanan pada
penelitian penginderaan dan persepsi beralih pada aspek-aspek fisiologis dan
psikofisika, studi-studi fenomenologis masih berlanjut. Tokoh-tokoh fisiologis
dan psikofisika seperti Johannes Muller dan Gustav T. Fechner juga melaksanakan
studi-studi fenomenologis. Ewald Hering terutama secara ekstensif menggunakan
metode fenomenologis dalam studi-stuidinya tentang penglihatan, dan melandaskan
teori-teorinya yang bertentangan dengan teori-teori Helmholzt, pada data
fenomenologis. Kontroversi Hering-Helmholzt menggambarkan dua pendekatan yang
berbeda, yaitu eksperimental dan fenomenologis dengan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangannya
masing-masing. Stumpf yang mempraktekkan kedua pendekatan itu dalam
studi-studinya tentang bunyi, memandang fenomenologi sebagai tahap persiapan
bagi psikologi, dan karenanya ia menyebut fenomenologi dengan istilah
propaedeutik dari psikologi. Seperti yang dilakukan oleh Alexander Pfander
(1870-1941) yang menerapkan fenomenologi dalam peneltian tentang persepsi, dan
emosi. (Misiak, dan Sexton 2005)
B.VI. Fenomenologi Eksperimental
Pada awal abad ke-20, lingkup penelitian fenomenologis
telah meluas ke masalah-masalah lain. Laboratorium-laboratorium di Wurzburg dan
Gottingen meneliti tentang belajar, pemikiran, dan keinginan. Para peneliti di
Prancis juga menggunkan metode fenomenologis dalam studi-studi mereka tentang kondisi-kondisi
afektif dan kondisi-kondisi psikopatologis. Studi Ribot tentang
pengalaman-pengalaman yang melibatkan penemuan mekanika juga pada prinsipnya
merupakan studi fenomenologis. Akhirnya, Katz dan Wertheimer mempersembahkan
era baru dalam ppsikologi fenomenologi ketika mereka menampilkan eksperimentasi
sistematik, khususnya tentang persepsi warna dan gerakan semu. Penelitian-penelitian
mereka menggabungkan metode fenomenologi dengan teknik-teknik laboratorium,
suatu gabungan yang kemudian disebut fenomenologi eksperimental. Penemuan-penemuan
yang diperoleh melalui metodologi baru ini menjadi basis bagi aliran Gestalt. Keberhasilan
aliran Gestalt dalam psikologi tentang persepsi sebagian besar dimungkinkan
oleh penggunaan fenomenologi eksperimental [x].
Fenomenologi eksperimental menghasilkan pengikut-pengikut
baru bagi fenomenologi dan mengilhami penelitian lanjutan yang berorientasi
fenomenologis, khususnya di eropa daratan dimana tradisi fenomenologisnya lebih
kuat dibandingkan dengan di Amerika dan Inggris. Filsafat Husserl memberikan
identitas, nama, pembenaran filosofis, dan kerangka kerja pada pendekatan
fenomenologis dalam psikologi yang reseptif ini. Filsafat Husserl juga
memperkuat fenomenologi eksperimental dan mengilhami area-area penyelidikan
baru.
David Katz
Pada abad ke-20, fenomenologi eksperimental menemukan
wakilnya yang terkemuka pada diri David Katz (1884-1953). Sumbangan-sumbanagn
yang diberikan Katz kepada fenomenologi eksperimental selama lebih dari
setengah abad karir ilmiahnya telah mendorong eksperimen-eksperimen fenomenologis
ke tingkat yang lebih baik. Terdapat tiga pengaruh yang berinteraksi dalam
membentuk David Katz sebagai fenomenolog dan sebagai ahli psikologi, yaitu: tradisi
fenomenologi yang dipresentasikan oleh Hering, fenomenologi Husserl, dan
semangat eksperimen dari laboratorium Gottingen. Katz tertarik kepada karya dan
teori-teori Hering, mengunjungi laboratorium Hering di Leipzig, kemudian
setelah melakukan penyelidikan ia mengirimi Hering sebuah buku tentang persepsi
warna yang menundang komentar dari Hering. (Misiak dan Sexton, 2005)
Selama 14 tahun, Huserl dan Katz berada di
unioversitas yang sama. Katz yang bergabung dengan laboratorium Gottingen,
meraih Doktor pada tahun 1906 dan dari tahun 1907 hingga tahun 1919 menjadi
asisten Muller. Dengan latar belakang fenomenologi seperti ini, yang lama
(Hering) dan yang baru (Husserl) serta dengan latihan yang baik dalam metode
eksperimental, dan ketertarikannya yang sangat besar terhadap psikologi
Gestalt, sehingga Katz menjadi tokoh dan promotor terbaik bagi psikologi
fenomenologi di jamannya.
Penelitian Fenomenologis Katz
Pendekatan fenomenologis yang ditempuh oleh Katz
sepanjang karirnya, pertama kali mengejawantahkan diri dalam penelitian Katz
tentang gambar kanak-kanak yang diterbitkan pada tahun 1906, dimana ia meneliti
tentang fenomena konstansi warna, yakni presistensi warna yang berlangsung
dibawah pencahayaan yang diubah-ubah. Kemudian ia mempelajari fenomena
konstansi warna ini lebih luas. Kemudian Katz beralih pada penelitian psikologi
warna. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1911 ini mendahului penemuan
Wertheimer tentang eksperimental yang mencapai puncaknya pada penerbitan buku The
world of Colour. Melalui eksperiemn-eksperimen yang cerdik, Katz untuk
pertama kalinya menunjukkan fenomena baru yang sebelumnya tidak diketahui atau
tidak tergali.
Hasil-hasil penelitian Katz membuktikan secara
meyakinkan bahwa atribut-atribut yang sederhana seperti corak, kecerahan, dan
kejenuhan tidaklah memadai untuk memeriksa segenap pengalaman warna, serta
menekankan perlunya langkah ke seberang dimensi-dimensi yang berkaitan dengan
sifat-sifat fisik stimulus. Penemuan ini memperlihatkan pengaruh lapangan
keseluruhan terhadap proses persepsi sebagai salah satu proses kognitif pada
setiap individu.
Katz selalu tertarik oleh lapangan-lapangan yang tidak
tereksplorasi, dan selalu memberanikan diri untuk memasukinya dengan penuh
antusias. Ia memulai dari eksplorasi fenomena warna kepada sensasi-sensasi
sentuhan, dari masalah-masalah psikologi anak kepada studi tentang tingkah laku
hewan, dari psikologi tentang pengajaran matematika kepada psikologi tentang
lapar dan selera. Studi-studi Katz mencakup area yang luas seperti
propriosepsi, rasa, indera getaran, pembentukan fotografi-fotografi komposit,
pengukuran temporal fase-fase menulis, pengaruh obat, dan bahkan fenomena
okultisme[xi].
Katz dianggap sebagai eksperimentalis pertama yang
secara sistematis dan konsisten menerapkan metode fenomenologis pada jajaran
masalah psikologi yang luas. Ia mampu mengumpulkan data eksperimental yang kaya
dan menantang titikpandang-titik pandang yang atomistik dan asosianistik. Katz
juga mampu menunjukkan nilai pendekatan holistik dalam penyelidikan psikologi dan
ia menekankan perlunya memperhitungkan keadaan saling pengaruh yang dinamis
antara lingkungan dan variabel-variabel subjektif dalam memahami persepsi dan
respon-respon adaptif. Karya-karya Katz banyak menarik perhatian di daratan
Eropa dan menemukan banyak pengikut di berbagai laboratorium.
Albert Michote
Dilahirkan di Brussel, Albert Edouard Michotte van den
Berck (1881-1965) belajar di Universitas Louvain. Ia juga bekerja di
laboratorium-laboratorium Leipzig dan Wurzburg. Pada tahun 1905 ia memulai karir mengajarnya di Universitas
Louvain sampai saat pensiunnya pada tahun 1946. Sebagai eksperimentalis yang
bersemangat, Michotte mengabdikan upaya-upaya terbaiknya pada Laboratorium
Louvin yang dipimpinnya selama 25 tahun.
Karir penelitian Michote dapat dikelompokkan kedalam
tiga periode, yaitu:
1.
(1905-1914), penelitian Michotte memusatkan perhatian
pada penelitian tentang kehendak.
2.
(1920-1939), mencakup penelitian-penelitian tentang
persepsi, gerakan, ritme, dan belajar.
3.
(1939-1965), tentang persepsi kausalitas yang merupakan
penelitian-penelitian paling orisinil dan menarik perhatian. Dimana
teknik-teknik eksperimental baru yang orisinil untuk pertama kali digunakan pada
penelitian-penelitian tersebut.
Eksperimen-eksperimen terdiri dari mengamati
relasi-relasi dari obyek-obyek yang bergerak dan menjabarkan kesan-kesan pengamat/
peneliti. Dalam serangakain eksperimen, titik-titik lingkaran diproyeksikan
pada layar dan dibuat bergerak. Dalam variasi dari lingkaran ini, obyek A
bergerak ke arah obyek B. Setelah kedua obyek bertemu, obyek A dihentikan dan
obyek B digerakkan ke arah tempat asal obyek B. Kesan para pengamat adalah
bahwa obyek A mendorong obyek B. Dan masih banyak variasi lain yang kembangkan
oleh Michotte dalam penelitian eksperiemntalnya yang sangat berarti bagi
pengembangan psikologi (Hadiwijono, 2002).
Dari penelitiannya, Michotte menyimpulkan bahwa persepsi
kausalitas adalah sama dengan persepsi yang lainnya, seperti persepsi warna
atau bunyi. Persepsi kausalitas itu adalah suatu pengalaman primer, bukan suatu
penafsiran sekunder tentang pengalaman, memiliki kualitas Gestalt, dan sama
dengan phi phenomenon, tetap dibawah
kondisi-kondisi tertentu. Dalam analisisnya tentang fenomena perseptual
kausalitas, Michotte secara cermat menspesifikasi fenomena tersebut sebagai
kausalitas mekanis, dan karenanya menghindarkan diri dari komitmen dengan teori
filsafat tertentu tentang kausalitas.
Penelitian yang ekstensif tentang kausalitas dan
masalah-masalah yang terkait yang dilaksanakan di Louvin selama lebih dari 25
tahun itu telah menghasilkan suatu fase yang berarti dalam psikologi
fenomenologi. Dan banyak mahasiswa Michotte yang menjadi tokoh dalam psikologi.
Diantara mereka adalah Joseph Nuttin, yang menggantikan kedudukan Michotte di
Louvin, Georges Thines, yang menjadi guru besar di Universitas Louvin, Andre
Goddin yang menjadi direktur pusat pendidikan Agama Belgia, dan Joseph Donceel,
guru besar di Universitas Fordham. Dan Donceel telah menulis buku teks tentang
psikologi filosofis, yaitu sebuah teks yang merupakan produk dari kontak yang
erat pemikiran Eropa dan Amerika.
B.VII. Sumbangan-sumbangan teoritis
Ilmu-ilmu pengetahuan alam dikondisikan oleh
penemuan-penemuan dan akumulasi fakta-fakta baru tentang alam materiel melalui
upaya-upaya kolektif dari para ilmuan. Sejarah filsafatpun dikondisikan, yakni
oleh individu-individu berbakat yang pemahaman-pemahaman dan doktrin-doktrin
barunya cukup orisinil untuk menantang pandangan-pandangan yang dipertahankan,
dan cukup kuat untuk memenangkan dukungan, serta diikuti oleh orang-orang yang
berpikir. Dua individu yang masuk dalam kelas tersebut diantaranya adalah
Buytendijk seorang ahli biologi dan Merleu Ponty seorang ahli psikologi anak.
Buytendjik memasuki refleksi filsafat dari tuntutan studi
biologinya, ia menemukan filsafat yang cocok bagi pemenuhan kebutuhan
intelektualnya pada Merleu Ponty. Sebaliknya, Merleu Ponty menemukan pada
Buytendjik pemeriksaan dan gagasan-gagasan yang sesuai dengan apa yang tengah
digarapnya. Melalui pencarian jawaban yang berkesinambungan serta dengan
keorisinilan pemikiran-pemikiran dan kecakapan-kecakapan, kedua orang ini
menjadi katalisator yang kuat bagi para filusuf dan ahli psikologi, dan
mengarahkan mereka pada eksplorasi area-area baru dalam lapangan fenomenologi[xii].
F.J. Buytendjik
Buytendjik dilahirkan di negeri Belanda pada tahun 1887,
dia memperoleh gelar dokter pada tahun 1910 dan lebih memilih menempuh karir
akademis. Dia mengajar di Universitas Amsterdam, Groningen, Nijmegen, dan
Utrech. Di Groningen, dia menjadi guru besar fisiologi dan direktur Institut
Fisiologi. Sampai usia 50 tahun, ia melaksanakan penelitian-penelitian
fisiologi, ilmu hewan, dan psikologi komperatif. Lambat laun Buytendjik
berpaling pada psikologi dan filsafat, tetapi dengan tidak mengabaikan titik
tolak biologinya. Beroleh kesan yang mendalam dari filsafat eksistensial
Prancis, dia mengarahkan perhatiannya pada pada masalah-masalah fenomenologis
dan eksistensial.
Setelah bertahun-tahun meneliti basis fisiologis tingkah
laku hewan dan manusia, Buytendjik menemukan bahwa pemeriksaan fisiologis atas
tingkah laku manusia tidaklah mmemadai. Sebagaimana dinyatakan oleh Buytendjik,
„Tingkah laku tidak akan pernah bisa direduksi kedalam proses-proses
fisiologis, dan tidak bisa diterangkan sebagai hasil integrasi reflek-refleks“.
Buytendjik tidak membuang pendekatan fisiologis melainkan mencoba
mengintegrasikannya dengan studi fenomenologis tentang manusia.
Buytendjik menekankan bahwa psikologi harus memusatkan perhatiannya
pada manusia sebagai mahluk yang mengada dalam dunia. Menurut pendapatnya, Kita
berhutang kepada Husserl bagi pengembangan psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang
manusia dan tentang dunia manusia. Studi-studi fenomenologis Buytendjik
mencakup penelitian tentang gestur dan gerak manusia, psikologi wanita, ekspresi-ekspresi
artistik, kesakitan, sentuhan, perasaan-perasaan, dan emosi-emosi, juga tentang
tarian, dan olah raga. Bukunya yang berjudul Women (1958) adalah salah
satu contoh yang jelas dari studi fenomenologis yang canggih tentang sifat biologis
wanita, penampilan, dan corak keberadaan (ada-dalam-dunia).
Maurice Merleau-Ponty
Maurice Merleau-Ponty (1908-1961), pada usia 30 tahun
telah diakui secara luas sebagai salah seorang filusuf Prancis kontemporer yang
paling cakap. Filsafatnya dipandang sebagai integrasi fenomenologi dan
psikologi yang paling orisinil dan berhasil. Banyak yang diharapkan darinya,
akan tetapi kematiannya pada usia 53 tahun telah mengakhiri karirnya yang
brilian.
Merleau-Ponty dilahirkan di Rocheford-sur-Mer, di pantai
barat Prancis. Pertama kali dia ditunjuk sebagai guru besar filsafat di
Universitas Lyon, kemudian menjadi guru besar di Universitas Sorbonne, dan
akhirnya menjadi guru besar College de France, suatu kedudukan yang paling
terhormat bagi seorang filusuf Prancis. Ia sangat terkesan dengan filsafat
fenomenologisnya Husserl. Selain itu dia juga memiliki pengetahuan tentang
psikologi moderen dan menghargai masalah-masalah yang ada didalamnya. Meskipun
komitmennya lebih erat pada filsafat, dan membahas soal-soal psikologi hanya
sebagai batu loncatan kedalam percakapan filosofis dan tulisannya banyak
mengundang pemikiran para ahli psikologi.
Tulisan-tulisan Merleu-Ponty, lebih dari karya-karya fenomenologis
yang lainnya, tidak hanya menghasilkan simpati dan dukungan bagi fenomenologi
di Amerika, tetap juga menyajikan kerangka kerja filosofis ang paling jelas dan
menarik bagi siapa saja yang meyakini nilai dan kegunaan pendekatan
fenomenologis. Salah satu daya tarik Merleu-Ponty adalah pengenalannya terhadap
aliran-aliran psikologi, berbagai penemuan eksperimental, juga terhadap
neurology dan psikopatologi. Ia mengajukan referensi yang melimpah dari
lapangan-lapangan yang dikenalinya itu, yang ia gunakan untuk mengilustrasikan
sejumlah argumennya. Sasaran-sasaran kritikannya yang terdapat pada psikologi
moderen adalah atomisme, intruksionisme, dan reduksionisme.
Merleu-Ponty mengungkapkan tujuan dan program
pemeriksaannya: untuk memahami relasi-relasi antara kesadaran dan alam. Melalui
alam, ia mencoba memahami segenap kejadian eksternal dalam relasi kausalnya. Bagi
Merleu-Ponty, alam dan kesadaran berbeda secara mendasar, sebab kesadaran bukan
subyek dari kausalitas. Dia mencapai kesimpulan seperti itu setelah mempelajari
berbagai bentuk tingkah laku yang ia dekati dari sudut pandang behaviorisme. Tingkah
laku itu selalu terstruktur, sehingga metode-metode yang digunakan dalam
psikologi tidak cukup untuk mempelajari tingkah laku. Metode yang tepat untuk
mempelajari tingkah laku adalah fenomenologi yang sistematik tentang persepsi. Menurut
Merleu-Ponty, tingkah laku manusia terdiri dari tiga taraf, yaitu:
1. Taraf fisik
2. Taraf Vital (biologis)
3. Taraf human (psikis)
Setiap
taraf memiliki dinamikanya masing-masing, dan taraf yang paling tinggi dan
paling spesifik pada manusia adalah taraf human (psikis) yang kehadirannya
bergantung pada integrasi taraf-taraf lain yang lebih rendah. Dengan menekankan
bahwa pemikiran tidak bisa direduksi kedalam realitas fisik, tetapi juga tidak
bisa dipisahkan dari realitas fisik itu (Misiak dan Sexton, 2005).
Salah
satu konsep yang ditekankan oleh Ponty adalah Lebenswelt, yaitu sebuah
konsep yang pertama kali ia temukan dalam konsep tulisan-tulisan Husserl yang
tidak diterbitkan. Lebenswelt yang sekarang ini sering diterjemahkan
sebagai “dunia hidup” (life-World) dan kadang-kadang diterjemahkan
sebagai “dunia kehidupan sehari-hari” (world of Everyday life),
diasimilasikan oleh para fenomenolog yang lainnya. Dunia-hidup juga menerima
berbagai penafsiran dalam literature fenomenologi eksistensial. Akan tetapi,
secara umum dunia-hidup menunjuk kepada dunia sebagaimana yang dialami atau
dipersepsi secara subyektif oleh individu.
B.VIII. Ciri-ciri
Psikologi Fenomenologi
Terdapat
konsepsi-konsepsi yang berbeda dan konsepsi-konsepsi yang keliru tentang
psikologi fenomenologi. Dalam arti yang paling luas, suatu psikologi yang
membahas pengalaman personal dalam buah pemikirannya, dan yang menerima dan
menggunakan deskripsi fenomenologis, baik secara implicit maupun eksplisit,
bisa disebut psikologi fenomenologi. Psikologi ini berlawanan dengan psikologi
yang hanya mengakui observasi obyektif atas tingkah laku, dan menyisihkan
introspeksi dan deskripsi fenomenologis dalam metodologinya.
Dalam
arti yang paling sempit, psikologi fenomenologi adalah psikologi Husserl yang
berdiri terpisah dari psikologi empiris dan berfungsi sebagai batu loncatan
kepada bentuk fenomenologi yang lebih radikal, yaitu fenomenologi trasedental. Diantara
psikologi Husserl dan fenomenologi transedental itu adalah konsep tentang psikologi
yang:
- Mengikuti
motto Husserl, “kembali kepada berbagai hal itu sendiri”, yang artinya
memberikan berbagai hal (fenomena) memperlihatkan dirinya dalam
kesadarannya.
- Melandaskan
pembenaran filosofinya pada filsafat fenomenologi, dan secara luas dikonsepsikan
sebagai studi tentang data dari kesadaran yang hadir segera atau langsung,
dan validitasnya atas dasar inetnsionalitas
- Secara
konsisten menerapkan metode fenomenologis, yakni mendeskripsikan fenomena
secara tak berbias.
- Menempuh
pengeksplorasian pengalaman manusia dalam segenap fasenya tanpa
praduga-praduga filosofis.
Psikologi
fenomenologi bukanlah suatu aliran atau system teoritis seperti asosianisme,
psikologi Gestalt, atau psikoanalisis. Psikologi fenomenologi adalah suatu
pendekatan, orientasi, dan metodologi dalam eksplorasi-eksplorasi psikologis.
Dan yang paling vital bagi psikologi fenomenologi adalah asumsi bahwa segenap
observasi dan teori ilmiah pada akhirnya berlandaskan pada pengalaman hidup
sehari-hari yang langsung, segera, dan spontan, yang oleh fenomenologi
disingkap sebagai sebuah kajian keilmuan[xiii].
Ciri-ciri
berikut ini menunjukkan sifat psikologi fenomenologi berikut relasinya dengan
pendekatan-pendekatan lain dalam psikologi:
- Metode
dasarnya adalah metode fenomenologis yang telah dikemukakan sebelumnya.
Metode-metode tambahan dan teknik-teknik yang baik bagi studi tentang
pengalaman manusia dan relasinya dengan dirinya sendiri, dengan orang
lain, serta dengan dunia, secara sinambung dicari dan dikembangkan.
- Tujuannya
adalah memahami manusia dengan segenap aspeknya.
- Minat
utamanya terletak pada pengalaman manusia dan eksplorasi kualitatifnya. Psikologi
fenomenologi juga mempelajari tingkah laku, tetapi menentang pembatasan
yang ekslusif yang menganggap psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang
hanya mempelajari tingkah laku dan pengendaliannya.
- Psikologi
fenomenologi menolak segenap asumsi tentang sifat-sifat kesadaran, kecuali
asumsi bahwa kesadaran itu intensional. Psikologi fenomenologi sangat menentang konsep
tabula rasa tentang kesadaran, pandangan yang asosianistik dan seluruh
kecenderungan reduksionis.
- Psikologi fenomenologi menyukai dan menekankan
pendekatan holistik dalam mempelajari masalah-masalah psikologis.
Ciri-ciri tersebut diatas tidak semua ada pada setiap
ahli psikologi fenomenologi. Kalaupun ada, ciri-ciri tersebut tidak menampakkan
diri dalam pemikiran setiap ahli psikologi fenomenologi dalam derajat yang
sama. Bagaimanapun, ciri-ciri tersebut cenderung melandasi, paling tidak secara
implisit, pandangan-pandangan dan penyelidikan-penyelidikan para ahli psikologi
fenomenologi. Pendekatan fenomenologis yang dewasa ini sering bercampur dengan
orientasi eksistensial, telah diterapkan pada berbagai area psikologi secara
teoritis, eksperimental, dan klinis. Para ahli psikologi fenomenologi menekankan
bahwa psikologi mereka bukanlah suatu sistem yang tertutup, melainkan suatu
gerakan yang selalu tumbuh dan meluas dalam dialektika yang berkesinambungan dengan
orientasi-orientasi lain.
B.IX. Perkembangan Psikologi Fenomenologi di Eropa
setelah perang dunia
Pada periode setelah perang dunia II, pengaruh
fenomenologi pada berbagai area psikologi telah meningkat dibanyak negara di
Eropa, diantaranya adalah:
Jerman
Tentang psikologi fenomenologi di Jerman, Spiegelberg
menulis bahwa fenomenologi tampak dimana-mana, menembus hampir disemua buku
teks, monograf, dan artikel. Dikalangan generasi ahli psikologi Jerman
kontemporer dari generasi tua, telah mengasimilasi orientasi fenomenologis dan
memadukannya kedalam karya mereka tentang berbagai masalah. Wellek (1904-1972)
adalah guru besar psikologi dan direktur institut psikologi di Universitas
Mainz. Teori kepribadian mendominasi minat Wellek, tetapi sepanjang karirnya ia
juga mendalami sifat dan metodologi psikologi sebagai ilmu pengetahuan dan
mempersepsinya dalam semangat fenomenologi. Wellek mendefinisikan psikologi
bukan sebagai ilmu pengetahuan alam, dan bukan pula sebagai ilmu pengetahuan
humanistik, melainkan sesuatu yang Sui generis, yang memiliki
masalah-masalah spesifik dan metodenya yang subyeknya tetap, yaitu: pengalaman,
tingkah laku, dan susunan mental.
Di kalangan generasi ahli psikologi Jerman yang lebih
muda muncul tokoh: Carl F. Graumann (lahir tahun 1923), seorang direktur
Institut Psikologi di Universitas
Heidelberg. Minatnya meliputi teori dan metodologi psikologi, persepsi sosial, dan
psikolinguistik. Perlu diketahui bahwa area yang diminati oleh beberapa ahli
psikologi yang berorientasi fenomenologis di Eropa adalah psikolinguistik,
bersama dengan fenomenologi bahasa (Misiak dan Sexton, 2005).
Belanda
Negeri Belanda memiliki banyak fenomenolog yang cakap dan
orisinil serta kelompok ahli psikologi fenomenologi yang produktif. Di negeri
tersebut, unsur-unsur fenomenologi dan eksistensial bergabung didalam diri para
ahli psikologi dan para filusuf sampai taraf tertentu, sehingga sulit untuk
menetapkan apakah mereka itu fenomenolog ataukah eksistensialis. Buytendjik
adalah contoh yang jelas dari penggabungan kedua pendekatan filsafat itu.
Dikalangan ahli psikologi dan fenomenolog yang aktif terdapat Johannes J.
Linschoten (1925-1964) yang menjadi direktur Laboratorium Psikologi Universitas
Utrech. Ia membela anggapan yang menyebutkan bahwa penelitian eksperimental
dalam psikologi dapat menjadi pasti dan berubah jika obyeknya didudukkan pada studi
fenomenologis. Ia mengilustrasikan tipe studi ini dalam analisis
fenomenologisnya yang mahir, satu diantaranya adalah fenomenologi tentang
pengalaman jatuh dan tertidur seseorang.
Proporsi yang besar dari pengaruh fenomenologi Eropa atas
psikologi Amerika datang dari negeri Belanda. Melalui buku-buku berbahasa
Belanda yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, artikel-artikel yang ditulis
para peneliti Belanda dalam jurnal-jurnal Amerika, kuliah-kuliah dari para guru
besar dari Belanda, juga para ahli psikologi Amerika yang belajar psikologi di
Belanda, dimana penyebaran pendekatan fenomenologis-eksistensial di Amerika
sangat dibantu oleh ahli psikologi kelahiran Belanda, yang bernama Adrian van
kaam.
Prancis
Para fenomenolog Prancis, khususnya Merleu-Ponty, sangat
menaruh minat pada psikologi dan proses-proses psikologis seperti persepsi,
ingatan, dan emosi. Ia memberikan pengaruh yang sangat besar bukan hanya di
dalam negeri Prancis saja, namun juga sampai keluar negeri tersebut. Karya-karya
para fenomenolog Prancis banyak yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, sehingga
menarik kalangan ahli psikologi. Diantaranya adalah Simone de Beauvoir (lahir
1908), studi psikologisnya yang terkenal tentang wanita dan feminitas, yang
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul The scound Sex (1953),
memperoleh penghargaan dari para ahli psikologi. Buku tersebut penuh pemahaman,
dan menyajikan analisis yang menembus dan terbuktikan dengan baik.
Inggris
Salah satu tokoh psikologi Inggris yang telah berkenalan
dengan fenomenologi adalah C.Spearman, yang menyatakan bahwa fenomenologi
menemukan dukungan diberbagai tempat di Inggris. Harapan yang eksplisit atas
landasan fenomenologi bagi Psikologi dapat ditemukan dalam artikel N.E.
Wetherick yang menyimpulkan bahwa hanya asumsi-asumsi fenomenologi yang bisa
memberikan harapan pada masa depan psikologi. Termasuk juga Ronald Laing,
seorang psikiater Inggris yang telah menarik banyak perhatian dengan
studi-studinya yang bertitik tolak dari fenomenologi dan eksistensialis.
B.X. Psikologi Fenomenologi di
Amerika
Selama tiga
dasawarsa pertama abad ke-20, para ahli psikologi Amerika hampir tidak
mengetahui tentang filsafat Husserl dan gerakan fenomenologi. Tidak ada iklim
intelektual ataupun peristiwa-peristiwa didalam Psikologi Amerika yang kondusif
untuk memperhatikan fenomenologi secara adil. Psikologi Amerika telah bergerak
jauh dari psikologi Jerman dan mengembangkan karakter fungsionalnya sendiri. Di
eropa, dimana psikologi memelihara hubungannya yang erat dengan filsafat dan menolak kecenderungan
behavioristik, maka fenomenologi memiliki kesempatan yang lebih baik untuk
menggunakan pengaruhnya terhadap pemikiran psikologi. Tidak sampai tahun
1920-1n dan 1930-an, ketika studi-studi psikologi Gestalt diterima dengan baik
di amerika, metode fenomenologis yang dipraktekkan oleh para ahli psikologi
Gestalt pun menerima reaksi yang lebih simpatik.
Masih sedikit para ahli psikologi Amerika yang mencoba
melaksanakan penelitian fenomenologis, dan tidak banyak perhatian yang
diberikan kepada penelitian semacam itu yang dilaksanakan di Eropa. Bagaimanapun,
setelah perang Dunia II, pemikiran fenomenologis Eropa mulai menarik lebih
banyak perhatian di negeri Amerika.
Diantara faktor-faktor penting dalam peningkatan minat
para ahli psikologi amerika terhadap fenomenologi dan yang memungkinkan kehadiran
fenomenologi lebih luas serta diketahui lebih baik adalah adanya peningkatan komunikasi
intelektual antara Eropa dan Amerika, kontak pribadi yang lebih sering diantara
para ahli psikologi dari berbagai negara, penerjemahan karya-karya utama
fenomenologi kedalam bahasa Inggris dan yang paling penting adalah imigrasi
para ahli psikologi Eropa, khususnya Jerman ke Amerika karena adanya ancaman
pihak Nazi.
Banyak ahli psikologi Jerman dan Austria yang mengenal
dan simpati kepada pemikiran fenomenologis yang menjadikan Amerika sebagai
kampung halaman mereka. Sebagai tambahan pada para ahli psikologi Gestalt
seperti: Kohler dan Wertheimer, Solomon Asch, Karl Duncker, dan Kurt Lewin. Selain
itu terdapat juga para ahli psikologi Jerman dan Austria yang terkemuka,
diantaranya adalah: Rudolf Allers, Magda Arnold, Martin Scherer, dan Heinz
Werner. Bagaimanapun, sejumlah ilmuan dan filusuf Jerman terkemuka yang berasosiasi
dengan fenomenologi Eropa dan memiliki reputasi yang mapan bermukim di Amerika,
dimana mereka memperluas gerakan fenomenologi melalui tulisan-tulisan,
kedudukan akademis, dan berbagai aktivitas lain. Contohnya adalah: Erwin
Straus; seorang psikiater, Aron Gurwitsch; seorang filusuf, dan Kurt Goldstein;
ahli psikologi dan psikopatologi. Sehingga metode fenomenologi terus berkembang
di Amerika[xiv].
C. KESIMPULAN
Fenomenologi dalam arti luas adalah suatu filsafat yang
berpegang pada motto Husserl ”kembali kepada berbagai hal itu sendiri”, yang
bisa diartikan sebagai deskripsi yang bisa dipercaya dan tidak menyimpang
tentang kesegaran kesadaran. Jadi fenomenologi pada prinsipnya adalah suatu
metode: 1) intuisi langsung sebagai sumber utama pengetahuan, 2) atudi intuitif
atas esensi-esensi. Metode ini diambil oleh berbagai orientasi filosofis yang
secara bersama disebut gerakan fenomenologi. Gerakan ini dirintis oleh Franz
Brentano (1836-1917), dan dilanjutkan serta didirikan oleh Edmund Husserl
(1859-1938).
Pada perkembangannya fenomenologi memberikan sumbangan
yang cukup berarti bagi psikologi, dimana psikologi fenomenologi adalah suatu
pendekatan atau orientasi dalam psikologi yang terdiri dari eksplorasi tak
berbias atas kesadaran dan pengalaman. Fenomena diintuisikan, dianalisis, dan
dideskripsikan sebagaimana fenomena itu hadir dalam kesadaran tanpa
praduga-praduga. Fungsi psikologi fenomenologi bukanlah menggantikan
gerakan-gerakan atau orientasi-orientasi psikologi lain, melainkan
melengkapinya. Diantara tokoh-tokoh psikologi fenomenologi adalah: Fenomenologi
eksperimental: Aliran-aliran Gottingen dan Wurzburg, David Katz, aliran
Gestalt, Albert Michotte, Orientasi teoritis: Maurice Merleu-Ponty, F.J.J.
Buytendjik, dan lain-lain.
Pada awalnya psikologi fenomenologi berkembang di Eropa,
kemudian berkembang di Amerika yang diawali dengan kedatangan para sarjana
imigran Eropa yang melarikan diri ke Amerika karena mendapat tekanan dari Nazi
Jerman. Mereka datang ke Amerika dengan membawa aliran Gestalt, filsafat
fenomenologi, dan pendekatan eksistensial. Para ahli psikologi dan filusuf
kelahiran kelahiran Eropa seperti Kurt Goldstein, Erwin Straus, dan Aron
Gurwitsch adalah para pelopor berdirinya psikologi fenomenologi di Amerika. Sumbangan
dari psikologi fenomenologi diantaranya: persepsi, teori dan penelitian
kepribadian, dan klinis.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, Harun. 2002. Sari
Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius. Yogyakarta.
Indi Aunullah. Kumpulan
Tulisan On Phenomenology: dikumpulkan dari Stanford Encyclopedia of Philosopy.
http://Plato.Stanford.edu.
Tidak dipublikasikan.
Jujun S. Suriasumantri.
2005. Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer, Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta
Misiak dan Sexton. 2005. Psikologi
Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik, Refika aditama. Bandung
Spiegelberg. 1971. The Phenomenological Movement, The Hague,
Nijhoff. Dalam http// www. Journal. Com. Diakses 02 Desember 2012.
[i] Penulis
adalah dosen Psikologi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN “SMH” Banten
[ii]
Kumpulan tulisan “On Phenomenology” http:// plato Stanford.edu (tidak
dipublikasikan)
[iii] Hadi
Wijono, sari sejarah filsafat barat 2, 2002
[iv]
Kumpulan tulisan “On Phenomenology” http:// plato Stanford.edu (tidak
dipublikasikan)
[v] Henryk
Misiak, V.S. Sexton, Psikologi fenomenologi, eksistensialis dan humanistic, 2005
[vi]
Kumpulan tulisan “On Phenomenology” http:// plato Stanford.edu (tidak
dipublikasikan)
[vii] Henryk
Misiak, V.S. Sexton, Psikologi fenomenologi, eksistensialis dan humanistic, 2005
[viii]
Henryk Misiak, V.S. Sexton, Psikologi fenomenologi, eksistensialis dan
humanistic, 2005
[ix]
Kumpulan tulisan “On Phenomenology” http:// plato Stanford.edu (tidak
dipublikasikan)
[x]
Spiegelberg, The Phenomenological Movement, 1971
[xi]
Kumpulan tulisan “On Phenomenology” http:// plato Stanford.edu (tidak
dipublikasikan)
[xii]
Spiegelberg, The Phenomenological Movement, 1971
[xiii]
Spiegelberg, The Phenomenological Movement, 1971
[xiv]
Spiegelberg, The Phenomenological Movement, 1971
0 comments:
Post a Comment