FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Pages

Monday, March 9, 2015

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM PENGEMBANGAN PSIKOLOGI

PENDEKATAN FENOMENOLOGI
DALAM PENGEMBANGAN PSIKOLOGI

Oleh:
Muhammad Muhib Alwi[i]
muhibalwi@yahoo.com

Abstraksi

Ilmu psikologi yang selama ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagaian orang, dimana mereka menganggap psikologi sebagai ilmu meramal dan menduga-duga saja perlu menunjukkan eksistensinya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang menggunakan pendekatan empiris dan obyektif. Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa pendekatan yang dikembangkan oleh pendekatan fenomenologis memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pengembangan ilmu psikologi.
Metode fenomenologis terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan obyek dari kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran. Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang sistematis, melalui berbagai langkah atau teknik, sebagaimana yang diungkapkan oleh Spiegelberg dalam phenomenology Movement (1971) yang memerinci tujuh langkah yang terdapat dalam metode fenomenologis. Dimana dari tujuh langkah yang dia kemukakan, yang paling mendasar dan digunakan secara luas, juga oleh para ahli psikologi adalah: deskripsi fenomenologis.

Kata Kunci: Pendekatan Fenomenologi, Pengembangan Psikologi


A.  PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir ini, dilingkungan Psikologi Amerika muncul suatu gerakan baru yang bisa dikarakterisasi sebagai protes, tantangan, pelengkap, perluasan, atau alternative, baik bagi Psikologi behavioristik maupun psikoanalisa. Gerakan baru ini sering disebut kekuatan ketiga dalam psikologi kontemporer Amerika. Gerakan ini memperoleh pengakuan dari sejumlah besar peminat psikologi, baik di kalangan psikolog generasi lama maupun generasi baru. Meskipun pertumbuhan dan penyebarannya mengambil bentuk-bentuk yang berbeda, sumber-sumber gerakan ini tetaplah tradisi-tradisi fenomenologi dan eksistensial. Dimana pengaruh dari keduanya memasuki lapangan-lapngan keilmuan, seperti sastra, seni, sosiologi, hukum, antropologi, teologi, dan terutama psikologi dan psikiatri.
Pengaruh dari gerakan fenomenologi dan eksistensial pada pemikiran psikologi Eropa menampakkan diri dalam kecenderungan yang disebut psikologi fenomenologi, psikologi eksistensial, atau psikologi fenomenologi-eksistensial. Dimana pada akhir tahun 1950-an memperoleh dukungan yang sangat kuat dari kekuatan ketiga dalam psikologi Amerika yang dibangun sebagai alternatif bagi aliran behaviorisme dan aliran psikoanalis dalam keilmuan psikologi.[ii]
David Katz (1950) tokoh Psikologi Eropa, mengatakan bahwa pemahaman akan psikologi kontemporer membutuhkan pemahaman tentang metode fenomenologi, yaitu suatu metode didalam filsafat ilmu yang melakukan pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Dimana sasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan obyek dari kesadaran, misalnya: segenap hal yang dipersepsikan, dibayangkan, diragukan, atau disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran.(Misiak, 2005)
Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang sistematis, melalui berbagai langkah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Spiegelberg dalam phenomenology Movement (1971)[iii] yang memerinci tujuh langkah yang terdapat dalam metode fenomenologis. Dimana dari tujuh langkah yang dia kemukakan, yang paling mendasar dan digunakan secara luas, juga oleh para ahli psikologi adalah: deskripsi fenomenologis. Menurut penafsiran dan terminologi Spiegelberg, deskripsi fenomenologis dapat dibagi kedalam tiga fase, yaitu:
1.    Mengintuisi, artinya mengonsentrasikan diri secara intens atau merenungkan fenomena yang ada.
2.    Menganalisis, yaitu menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena yang ada dan bagaimana hubungannya dengan berbagai hal
3.    Menjabarkan, adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain.
Menilik dari tiga fase diatas, dapat dipahami bahwa syarat utama bagi keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian yang tidak didasarkan pada fenomena riel, sehingga segala bentuk kebenaran selalu didasarkan pada keberadaan fenomena yang riel guna mencapai esensi-esensi dari fenomena. Dan pencapaian esensi-esensi dari fenomena itu merupakan prasyarat dan landasan yang sangat diperlukan bagi segenap ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, termasuk didalamnya adalah ilmu psikologi.

B. PEMBAHASAN
B.I. Pengertian Fenomenologi
Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercahaya, yang didalam bahasa Indonesia disebut gejala. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang mebicarakan fenomena, atau segala sesuatu yang menampakkan diri (Hadiwijoyo, 2002).
Kata fenomenon (disingkat: fenomen) atau gejala dapat dipakai dalam bermacam-macam arti. Kata fenomen atau gejala dapat dipertentangkan dengan ”kenyataan”: fenomena bukanlah hal yang nyata, tetapi hal yang semu. Demikianlah kata fenomen dapat berarti ”semu”. Kecuali itu kata fenomen dapat dipakai sebagai lawan ”bendanya sendiri”, sehingga fenomen atau gejala berarti ”penampakan”. Juga kata fenomen dapat dipakai untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang dapat diamati dengan indera. Dalam arti ini kata fenomen dipakai didalam ilmu pengetahuan alam. Namun didalam filsafat fenomenologi ketiga arti fenomen ini tidak dipakai. Menurut para filusuf pengikut fenomenologi suatu fenomen tidak perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani, tanpa melewati indera. Juga fenomen tidak perlu peristiwa. Untuk sementara dapat dikatakan, bahwa menurut para filusuf  pengikut fenomenologi fenomen adalah ” apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, atau apa yang jelas dihadapan kita.[iv]
Pelopor filsafat fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938). Ia dilahirkan di Prosswitz (Moravia), sebuah kota yang waktu itu termasuk wilayah kekaisaran austria dan sekarang berada di wilayah Cekoslowakia. Pada awalnya ia belajar ilmu pasti, yaitu matematika dan ilmu pengetahuan alam di Wina. Tetapi kemudian ia berpindah studi ke filsafatdan secara berturut-turut ia menjabat guru besar di Universitas Halle,  Universitas Gottingen dan Universitas Freiburg.
Banyak buah karyanya, akan tetapi belum semuanya diterbitkan. Diantaranya yang telah diterbitkan adalah: Logiche Untersuchungen (penyelidikan-penyelidikan yang logis) (1900-1901), Ideen zu einer reinen Phanomenologie (Idea-idea bagi bagi suatu fenomenologi yang murni) (1913), Formale und transzendentale logik (logika yang formal dan transendental) (1929) dan Erfahrung und urteil ( pengalaman dan pertimbangan) (1930). (dalam Hadiwijono, 2002)
Menurut Husrel hukum-hukum logika yang memberi kepastian dan yang berlaku tidak mungkin bersifat a posteriori sebagai hasil pengalaman, tetapi bersifat a priori. Umpamanya asas pemikiran yang berbunyi : A tak mungkin sekaligus A dan bukan A, artinya, tidak mungkin bahwa jikalau A ádalah A, maka A sekaligus juga bukan A. Asas pemikiran ini tetap berlaku, juga seandainya tidak ada seorangpun yang memikirkannya. Hal ini sama dengan kenyataan, bahwa 2 X 2 = 4. Juga seandainya tiada seorangpun yang menghitungnya, patokan itu tetap berlaku secara pasti. Oleh karena itu logika sejenis dengan ilmu pasti, karena cara hukum-hukumnya berlaku adalah sama. Dari apa yang dikemukakan tersebut tampak juga bahwa hukum-hukum logika tidak mengungkapkan bagaimana orang harus berpikir. Logika bukanlah hukum yang normatif. Logika adalah semata-mata ”Sachgesetze” hukum yang mengenai ” yang ada ”. Hukum-hukum logika berkaitan dengan hal-hal yang ideal, yang mengatasi segala struktur, yang hakiki. Yang dibicarakan didalam logika bukan pertimbangan manusia yang konkrit, melainkan isi pertimbangan itu, atau artinya (Bedeutung), yang termaktuk tertib ideal. Demikianlah logika memiliki bidangnya sendiri, yaitu bidang arti (Bedeutung) Jikalau kita dapat menagkap suatu pengertian atau suatu pertimbangan, yang kita tangkap adalah artinya.
Didalam kehidupan sehari-hari kita yakin bahwa suatu pengertian (misalnya: meja, kursi, rumah, dan sebagainya) bersifat obyektif, artinya: yang kita sebut dalam pengertian itu adalah sesuatu yang benar-benar ada diluar kita. Hal ini disebabkan karena setiap hari kita mengalami dunia yang diluar kita itu, dan setiap hari kita mengamatinya. Disini kita sadar akan adanya obyek atau sasaran diluar diri kita yang dihubungkan dengan kesadaran kita melalui pengamatan, dimana obyek atau sasaran itu benar-benar kita tangkap. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pengamatan menghubungkan kesadaran dengan benda-benda atau obyek di luar kita[v].
Fenomena kesadaran itu sangat banyak dan beragam: benda-benda, orang-orang, kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, ingatan-ingatan, pemikiran-pemikiran, suasana-suasana hati (moods), perasaan-perasaan, gambaran-gambaran, khayalan-khayalan, susunan-susunan mental, dan sebagainya. Fenomenologi mencatat fenomena itu dan mengeksplorasikannya melalui metode khusus yang disebut metode fenomenologis.
Husrel bukanlah penemu atau filusuf pertama yang menggunakan metode fenomenologis, melainkan sebagai penyempurna yang menspesifikasi kondisi-kondisi dan obyek-obyeknya, serta mengangkat status metode fenomenologi itu sebagai suatu prosedur filosofis yang fundamental.

B.II. Metode Fenomenologis
 Metode fenomenologis terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan obyek dari kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran. Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang sistematis, melalui berbagai langkah atau teknik, sebagaimana yang diungkapkan oleh Spiegelberg dalam phenomenology Movement (1971) yang memerinci tujuh langkah yang terdapat dalam metode fenomenologis. Dimana dari tujuh langkah yang dia kemukakan, yang paling mendasar dan digunakan secara luas, juga oleh para ahli psikologi adalah: deskripsi fenomenologis. Menurut penafsiran dan terminologi Spiegelberg, deskripsi fenomenologis dapat dibagi kedalam tiga fase, yaitu:
1.    Mengintuisi, artinya mengonsentrasikan diri secara intens atau merenungkan fenomena yang ada.
2.    Menganalisis, yaitu menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena yang ada dan bagaimana hubungannya dengan berbagai hal yang ada.
3.    Menjabarkan, adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain.
Langkah yang lain dari metode fenomenologis adalah Wessenschau (pemahaman terhadap esensi-esensi), Experience or cognition of essences (pengalaman atau kognisi tentang esensi-esesnsi). Akan tetapi Speigelberg menerjemahkan istilah Wessenschau sebagai “pengintuisian esnsi-esensi” (intuiting of essences). Pengintuisian esensi-esensi disebut juga “pengintuisian eidetic” (eidetic intuiting), dimana fungsi pengintuisian eidetic adalah untuk menangkap atau mencapai esensi-esensi berbagai hal melalui fenomena. Pencapaian esensi biasanya menyertakan survey atas sesuatu yang memperluasnya menjadi lebih umum.[vi]
Syarat utama bagi keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian yang tidak didasarkan pada fenomena riil, sehingga segala bentuk kebenaran selalu didasarkan pada keberadaan fenomena yang riil. Adalah merupakan suatu keharusan dalam mengeksplorasi kesadaran itu seluruh penyimpangan, teori-teori, keyakinan-keyakinan, dan corak-corak berpikir yang telah menjadi kebiasaan harus disingkirkan. Karena dengan cara seperti itu, eksplorasi atas fenomena bisa diharapkan membawa hasil, sebab dengan cara demikian fenomena tidak dikaburkan atau tidak didistorsi oleh sifat-sifat individual. Sehingga pencapaian esensi-esensi fenomena itu bisa didapatkan, dimana pencapaian esensi-esensi fenomena itu merupakan prasyarat dan landasan yang diperlukan oleh segenap ilmu pengetahuan empiris, termasuk didalamnya adalah ilmu pengetahuan psikologi (Hadiwijono, 2002).

B.III. Pengaruh Husserl terhadap Para Ahli Psikologi pada Zamannya
Ketika para ahli Psikologi di Jerman, Austria, dan di negara-negara lainnya mulai mengenal karya-karya Husserl, merekapun mulai menunjukkan reaksinya. Sebagaian dari mereka menunjukkan reaksi senang, sedangkan sebagain yang lainnya menunjukkan reaksi sebaliknya. Wilhelm Wundt, yang oleh Husserl dikritik atas kecenderungannya  yang kuat pada psikologisme, tidak tertarik pada Husserl dengan fenomenologinya yang dipandangnya sebagai filsafat skolastik. Edward Titchener (1867-1927), ahli psikologi Inggris yang menjadi pendukung psikologi Wundt dan mendirikan psikologi strukturalisme setelah bermukim di Amerika dan mengajar di Universitas Cornell, pada tahun 1912 menyatakan, ”tidak ada bentuk fenomenologi yang bisa menjadi benar-benar ilmiah”. Setelah mengamati pengaruh Husserl yang begitu kuat terhadap psikologi, pada tahun 1917 Titchener memutuskan untuk mempelajari fenomenologi Husserl. Dalam bukunya yang berjudul Systematic Psychology: Prolegomena, Titchener memperlihatkan kedekatannya dengan karya-karya utama Husserl dan membahas pengaruhnya terhadap psikologi di Jerman dan austria, tetapi ia sendiri tidak menemukan alasan untuk mengubah pandangan aslinya terhadap nilai fenomenologi Husserl bagi psikologi. Meskipun demikian, terkesan oleh keberhasilan para ahli psikologi gestalt dan fenomenologi eksperimental, Titchener kemudian menganjurkan para mahasiswanya untuk mencoba memfenomenologikan psikologi dan mempraktekkan deskripsi dan analisis fenomenologis di laboratorium psikologi Universitas Cornell[vii].
Di Universitas Gottingen, tempat Husserl mengajar selama 15 tahun (1901-1916), terdapat George E.Muller (1850-1934), guru besar dan direktur laboratorium psikologi yang aktif, serta memiliki pengaruh kedua terbesar sesudah laboratorium Wundt di Leipzig. Jalan kedua orang ini terletak di dunia yang terpisah, menurut Cart Spearman, seorang ahli psikologi Inggris yang pernah tinggal sementara waktu di Gottingen. Dalam kenyataannya menurut Spearman pula, satu hal yang tampaknya menjadi milik mereka berdua adalah ketidakmampuan untuk saling menghargai. Akan tetapi sejumlah mahasiswa Muller menghargai dan berada dibawah pengaruh fenomenologi Husserl.
Pada umumnya, generasi ahli psikologi Jerman dan Austria yang lebih muda pada dua dasawarsa pertama abad ini memberikan respons kepada Husserl dengan respon yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan respon guru-guru mereka. Respon yang menyenangkan itu juga diberikan oleh para ahli psikologi dan filsafat di negara-negara lain yang belajar di berbagai universitas di Jerman. Deskripsi dan analisis enomenologis yang berasal dari Husserl menemukan penerimaan yang luas di kalangan ahli psikologi eksperimental Eropa. Banyak studi di Laboratorium psikologi Gottingen, dan di Wurzburg, sebuah pusat pelatihan dan penelitian psikologi yang dipimpin oleh Oswald Kulpe (1862-1915) yang menjadi simpatisan kepada Husserl. Karl Buhrel (1879-1963), amat terkesan pada Husserl, dan itu adalah faktor yang tidak diragukan pengaruhnya terhadap minat meneliti proses-proses berpikir yang ada pada Buhler yang dilaksanakannya di laboratorium Wurzburg. Boring (1950) percaya bahwa Buhler-lah yang memperkenalkan filsafat Husserl kepada Kulpe, yang pada gilirannya memberikan kesan kepada Titchener bahwa fenomenologi Husserl sangat mempengaruhi psikologi [viii].
Aron Gurwitsch yang mempelajari psikologi Gestalt, menyadari kedekatannya dengan fenomenologi. Dia adalah orang yang berjasa dalam menjadikan para ahli psikologi Gestalt lebih menyadari nilai fenomenologi Husserl dan dia sangat menghargai psikologi fenomenologi dan secara terbuka mengakui sumbangan-sumbangannya dalam mengembangkan psikologi Gestalt.

B.IV. Fenomenologi Psikologis
            Istilah fenomenologi psikologis menunjuk pada fenomenologi sebagai metode yang diterapkan pada masalah-masalah psikologis atau digunakan pada penyelidikan taraf psikologis. Dalam konteks ini, fenomenologi psikologis merupakan suatu prosedur filsafat yang diarahkan pada pencapaian esensi berbagai hal dan pada pengetahuan tentang realitas pokok. Fenomenologis psikologis adalah suatu prosedur yang lebih terbatas dan spesifik, yang dirancang untuk mengeksplorasi kesadaran dan pengalaman manusia yang segera atau langsung. Fenomenologi psikologis bisa juga didefinisikan sebagai observasi dan deskripsi yang sistematis atas pengalaman individu yang sadar dalam situasi tertentu. Karl Jaspers mendefinisikan fenomenologi psikologis sebagai deskripsi yang paling lengkap dan cermat mengenai apa yang dialami oleh orang yang sehat ataupun orang yang sakit. Pengeksplorasian kesadaran menunjuk baik pada tindakan-tindakan maupun pada isi-isi kesadaran dengan obyek-obyek dan makna-makananya. Data fenomenal yang dieksplorasi mencakup persepsi-persepsi, perasaan-perasaan, ingatan-ingatan, ganabaran-ganabaran, gagasan-gagasan, dan berbagai hal lainnya yang hadir dalam kesadaran. Semua data fenomenal itu diterima dan dideskripsikan sebagaiana adanya, tanpa pengandaian-pengandaian atau transformasi-transformasi. Pengetahuan yang telah lewat, corak-corak berpikir, dan penyimpangan-penyimpangan teoritis harus disingkirkan untuk sementara waktu, agar kita bisa memandang dunia fenomenal dalam segenap kekayaan dan kemurniannya. Robert Macleod menyebut sikap demikian sebagai sikap kesederhanaan yang tertib.

B.V. Tradisi Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi bisa dijumpai pada segenap periode sejarah psikologi, misalnya otobiografi abad ke-4, Confession, dimana penulisnya St. Augustine (354-430) menyajikan penyelidikan yang mendalam dan murni tentang pengalaman-pengalaman, emosi-emosi, ingatan-ingatan, hasrat-hasarat, perasaan-perasaan, dan pemikiran-pemikiran yang dialaminya sendiri. Kemudian banyak tulisa fenomenolog kontemporer yang mengacu kepadanya, dan mengutip tulisan-tulisannya. Husserl sendiri dalam kuliahnya di Paris mengutip pernyataan St. Augustine, ” Berpalinglah kepada dirimu sendiri, kebenaran ada dalam diri manusia”
Pada abad ke-17, Descartes memulai pertanyaan filosofisnya dengan kesangsian, menetapkan Cogito Ergo sum-nya sebagai dasar bagi filsafatnya. Dualismenya yang radikal, dan psikologinya yang dibangun diatas anggapan dikotomi pemikiran dan badan mekanis, menjadikan metode fenomenologis sebagai metode bagi studi tentang wujud spiritual, pemikiran. Dalam wujud psikologi pemikiran, psikologi Descartes memelihara dan memperkuat pendekatan fenomenologis. Konsekeuensinya, para fenomenolog abad ke-20 banyak membahas filsafat Descartes. Descartes telah menjadi titik acuan dimana para fenomenolog mempertentangkan pandangan-pandangan mereka [ix].
Penggunaan deskripsi fenomenologis yang sistematis dan efektif yang pertama adalah dalam studi tentang fenomena visual. Studi-studi dari Goethe dan Purkinje pada awal abad ke-19 sering dikutip karena penggunaan metode fenomenologisnya dalam penyelididkan fenomena visual. Goethe secara sistematis dan terinci mempelajari fenomena warna subjectif, diantaranya bayangan dan pengaruh-pengaruh warna-warana yang kontras terhadap persepsi warna. Setelah Goethe, banyak penyelidik terkemuka lainnya seperti Hering, Stumpf, G.E. Muller, David Katz, Wertheimer, Ach, dan Michotte, yang tertarik untuk mempelajari berbagai fenomena penginderaan dan persepsi. Sementara Goethe tidak mempercayai eksperimentasi dan menolak dengan gigih evidensi eksperimental dalam upayanya mempertahankan pemeriksaan fenomenologis, para penerusnya dalam menyelidiki fenomena penginderaan dan persepsi itu menggunakan eksperimen laboratorium dan data eksperimental. Data eksperimental ini melengkapi observasi-observasi fenomenologi dan berkaitan dengan data fisika dan fisiologi. Konstruk-konstruk, seperti kekuatan warna, prisma penciuman, adalah produk penelitian fenomenologis.
Meskipun pada pertengahan abad ke-19 penekanan pada penelitian penginderaan dan persepsi beralih pada aspek-aspek fisiologis dan psikofisika, studi-studi fenomenologis masih berlanjut. Tokoh-tokoh fisiologis dan psikofisika seperti Johannes Muller dan Gustav T. Fechner juga melaksanakan studi-studi fenomenologis. Ewald Hering terutama secara ekstensif menggunakan metode fenomenologis dalam studi-stuidinya tentang penglihatan, dan melandaskan teori-teorinya yang bertentangan dengan teori-teori Helmholzt, pada data fenomenologis. Kontroversi Hering-Helmholzt menggambarkan dua pendekatan yang berbeda, yaitu eksperimental dan fenomenologis dengan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangannya masing-masing. Stumpf yang mempraktekkan kedua pendekatan itu dalam studi-studinya tentang bunyi, memandang fenomenologi sebagai tahap persiapan bagi psikologi, dan karenanya ia menyebut fenomenologi dengan istilah propaedeutik dari psikologi. Seperti yang dilakukan oleh Alexander Pfander (1870-1941) yang menerapkan fenomenologi dalam peneltian tentang persepsi, dan emosi. (Misiak, dan Sexton 2005)

B.VI. Fenomenologi Eksperimental
Pada awal abad ke-20, lingkup penelitian fenomenologis telah meluas ke masalah-masalah lain. Laboratorium-laboratorium di Wurzburg dan Gottingen meneliti tentang belajar, pemikiran, dan keinginan. Para peneliti di Prancis juga menggunkan metode fenomenologis dalam studi-studi mereka tentang kondisi-kondisi afektif dan kondisi-kondisi psikopatologis. Studi Ribot tentang pengalaman-pengalaman yang melibatkan penemuan mekanika juga pada prinsipnya merupakan studi fenomenologis. Akhirnya, Katz dan Wertheimer mempersembahkan era baru dalam ppsikologi fenomenologi ketika mereka menampilkan eksperimentasi sistematik, khususnya tentang persepsi warna dan gerakan semu. Penelitian-penelitian mereka menggabungkan metode fenomenologi dengan teknik-teknik laboratorium, suatu gabungan yang kemudian disebut fenomenologi eksperimental. Penemuan-penemuan yang diperoleh melalui metodologi baru ini menjadi basis bagi aliran Gestalt. Keberhasilan aliran Gestalt dalam psikologi tentang persepsi sebagian besar dimungkinkan oleh penggunaan fenomenologi eksperimental [x].
Fenomenologi eksperimental menghasilkan pengikut-pengikut baru bagi fenomenologi dan mengilhami penelitian lanjutan yang berorientasi fenomenologis, khususnya di eropa daratan dimana tradisi fenomenologisnya lebih kuat dibandingkan dengan di Amerika dan Inggris. Filsafat Husserl memberikan identitas, nama, pembenaran filosofis, dan kerangka kerja pada pendekatan fenomenologis dalam psikologi yang reseptif ini. Filsafat Husserl juga memperkuat fenomenologi eksperimental dan mengilhami area-area penyelidikan baru.
David Katz
Pada abad ke-20, fenomenologi eksperimental menemukan wakilnya yang terkemuka pada diri David Katz (1884-1953). Sumbangan-sumbanagn yang diberikan Katz kepada fenomenologi eksperimental selama lebih dari setengah abad karir ilmiahnya telah mendorong eksperimen-eksperimen fenomenologis ke tingkat yang lebih baik. Terdapat tiga pengaruh yang berinteraksi dalam membentuk David Katz sebagai fenomenolog dan sebagai ahli psikologi, yaitu: tradisi fenomenologi yang dipresentasikan oleh Hering, fenomenologi Husserl, dan semangat eksperimen dari laboratorium Gottingen. Katz tertarik kepada karya dan teori-teori Hering, mengunjungi laboratorium Hering di Leipzig, kemudian setelah melakukan penyelidikan ia mengirimi Hering sebuah buku tentang persepsi warna yang menundang komentar dari Hering. (Misiak dan Sexton, 2005)
Selama 14 tahun, Huserl dan Katz berada di unioversitas yang sama. Katz yang bergabung dengan laboratorium Gottingen, meraih Doktor pada tahun 1906 dan dari tahun 1907 hingga tahun 1919 menjadi asisten Muller. Dengan latar belakang fenomenologi seperti ini, yang lama (Hering) dan yang baru (Husserl) serta dengan latihan yang baik dalam metode eksperimental, dan ketertarikannya yang sangat besar terhadap psikologi Gestalt, sehingga Katz menjadi tokoh dan promotor terbaik bagi psikologi fenomenologi di jamannya.

Penelitian Fenomenologis Katz
Pendekatan fenomenologis yang ditempuh oleh Katz sepanjang karirnya, pertama kali mengejawantahkan diri dalam penelitian Katz tentang gambar kanak-kanak yang diterbitkan pada tahun 1906, dimana ia meneliti tentang fenomena konstansi warna, yakni presistensi warna yang berlangsung dibawah pencahayaan yang diubah-ubah. Kemudian ia mempelajari fenomena konstansi warna ini lebih luas. Kemudian Katz beralih pada penelitian psikologi warna. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1911 ini mendahului penemuan Wertheimer tentang eksperimental yang mencapai puncaknya pada penerbitan buku The world of Colour. Melalui eksperiemn-eksperimen yang cerdik, Katz untuk pertama kalinya menunjukkan fenomena baru yang sebelumnya tidak diketahui atau tidak tergali.
Hasil-hasil penelitian Katz membuktikan secara meyakinkan bahwa atribut-atribut yang sederhana seperti corak, kecerahan, dan kejenuhan tidaklah memadai untuk memeriksa segenap pengalaman warna, serta menekankan perlunya langkah ke seberang dimensi-dimensi yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik stimulus. Penemuan ini memperlihatkan pengaruh lapangan keseluruhan terhadap proses persepsi sebagai salah satu proses kognitif pada setiap individu.
Katz selalu tertarik oleh lapangan-lapangan yang tidak tereksplorasi, dan selalu memberanikan diri untuk memasukinya dengan penuh antusias. Ia memulai dari eksplorasi fenomena warna kepada sensasi-sensasi sentuhan, dari masalah-masalah psikologi anak kepada studi tentang tingkah laku hewan, dari psikologi tentang pengajaran matematika kepada psikologi tentang lapar dan selera. Studi-studi Katz mencakup area yang luas seperti propriosepsi, rasa, indera getaran, pembentukan fotografi-fotografi komposit, pengukuran temporal fase-fase menulis, pengaruh obat, dan bahkan fenomena okultisme[xi].
Katz dianggap sebagai eksperimentalis pertama yang secara sistematis dan konsisten menerapkan metode fenomenologis pada jajaran masalah psikologi yang luas. Ia mampu mengumpulkan data eksperimental yang kaya dan menantang titikpandang-titik pandang yang atomistik dan asosianistik. Katz juga mampu menunjukkan nilai pendekatan holistik dalam penyelidikan psikologi dan ia menekankan perlunya memperhitungkan keadaan saling pengaruh yang dinamis antara lingkungan dan variabel-variabel subjektif dalam memahami persepsi dan respon-respon adaptif. Karya-karya Katz banyak menarik perhatian di daratan Eropa dan menemukan banyak pengikut di berbagai laboratorium.

Albert Michote
Dilahirkan di Brussel, Albert Edouard Michotte van den Berck (1881-1965) belajar di Universitas Louvain. Ia juga bekerja di laboratorium-laboratorium Leipzig dan Wurzburg. Pada tahun 1905  ia memulai karir mengajarnya di Universitas Louvain sampai saat pensiunnya pada tahun 1946. Sebagai eksperimentalis yang bersemangat, Michotte mengabdikan upaya-upaya terbaiknya pada Laboratorium Louvin yang dipimpinnya selama 25 tahun.
Karir penelitian Michote dapat dikelompokkan kedalam tiga periode, yaitu:
1.    (1905-1914), penelitian Michotte memusatkan perhatian pada penelitian tentang kehendak.
2.    (1920-1939), mencakup penelitian-penelitian tentang persepsi, gerakan, ritme, dan belajar.
3.    (1939-1965), tentang persepsi kausalitas yang merupakan penelitian-penelitian paling orisinil dan menarik perhatian. Dimana teknik-teknik eksperimental baru yang orisinil untuk pertama kali digunakan pada penelitian-penelitian tersebut.
Eksperimen-eksperimen terdiri dari mengamati relasi-relasi dari obyek-obyek yang bergerak dan menjabarkan kesan-kesan pengamat/ peneliti. Dalam serangakain eksperimen, titik-titik lingkaran diproyeksikan pada layar dan dibuat bergerak. Dalam variasi dari lingkaran ini, obyek A bergerak ke arah obyek B. Setelah kedua obyek bertemu, obyek A dihentikan dan obyek B digerakkan ke arah tempat asal obyek B. Kesan para pengamat adalah bahwa obyek A mendorong obyek B. Dan masih banyak variasi lain yang kembangkan oleh Michotte dalam penelitian eksperiemntalnya yang sangat berarti bagi pengembangan psikologi (Hadiwijono, 2002).
Dari penelitiannya, Michotte menyimpulkan bahwa persepsi kausalitas adalah sama dengan persepsi yang lainnya, seperti persepsi warna atau bunyi. Persepsi kausalitas itu adalah suatu pengalaman primer, bukan suatu penafsiran sekunder tentang pengalaman, memiliki kualitas Gestalt, dan sama dengan phi phenomenon,  tetap dibawah kondisi-kondisi tertentu. Dalam analisisnya tentang fenomena perseptual kausalitas, Michotte secara cermat menspesifikasi fenomena tersebut sebagai kausalitas mekanis, dan karenanya menghindarkan diri dari komitmen dengan teori filsafat tertentu tentang kausalitas.
Penelitian yang ekstensif tentang kausalitas dan masalah-masalah yang terkait yang dilaksanakan di Louvin selama lebih dari 25 tahun itu telah menghasilkan suatu fase yang berarti dalam psikologi fenomenologi. Dan banyak mahasiswa Michotte yang menjadi tokoh dalam psikologi. Diantara mereka adalah Joseph Nuttin, yang menggantikan kedudukan Michotte di Louvin, Georges Thines, yang menjadi guru besar di Universitas Louvin, Andre Goddin yang menjadi direktur pusat pendidikan Agama Belgia, dan Joseph Donceel, guru besar di Universitas Fordham. Dan Donceel telah menulis buku teks tentang psikologi filosofis, yaitu sebuah teks yang merupakan produk dari kontak yang erat pemikiran Eropa dan Amerika.

B.VII. Sumbangan-sumbangan teoritis
Ilmu-ilmu pengetahuan alam dikondisikan oleh penemuan-penemuan dan akumulasi fakta-fakta baru tentang alam materiel melalui upaya-upaya kolektif dari para ilmuan. Sejarah filsafatpun dikondisikan, yakni oleh individu-individu berbakat yang pemahaman-pemahaman dan doktrin-doktrin barunya cukup orisinil untuk menantang pandangan-pandangan yang dipertahankan, dan cukup kuat untuk memenangkan dukungan, serta diikuti oleh orang-orang yang berpikir. Dua individu yang masuk dalam kelas tersebut diantaranya adalah Buytendijk seorang ahli biologi dan Merleu Ponty seorang ahli psikologi anak.
Buytendjik memasuki refleksi filsafat dari tuntutan studi biologinya, ia menemukan filsafat yang cocok bagi pemenuhan kebutuhan intelektualnya pada Merleu Ponty. Sebaliknya, Merleu Ponty menemukan pada Buytendjik pemeriksaan dan gagasan-gagasan yang sesuai dengan apa yang tengah digarapnya. Melalui pencarian jawaban yang berkesinambungan serta dengan keorisinilan pemikiran-pemikiran dan kecakapan-kecakapan, kedua orang ini menjadi katalisator yang kuat bagi para filusuf dan ahli psikologi, dan mengarahkan mereka pada eksplorasi area-area baru dalam lapangan fenomenologi[xii].

F.J. Buytendjik
Buytendjik dilahirkan di negeri Belanda pada tahun 1887, dia memperoleh gelar dokter pada tahun 1910 dan lebih memilih menempuh karir akademis. Dia mengajar di Universitas Amsterdam, Groningen, Nijmegen, dan Utrech. Di Groningen, dia menjadi guru besar fisiologi dan direktur Institut Fisiologi. Sampai usia 50 tahun, ia melaksanakan penelitian-penelitian fisiologi, ilmu hewan, dan psikologi komperatif. Lambat laun Buytendjik berpaling pada psikologi dan filsafat, tetapi dengan tidak mengabaikan titik tolak biologinya. Beroleh kesan yang mendalam dari filsafat eksistensial Prancis, dia mengarahkan perhatiannya pada pada masalah-masalah fenomenologis dan eksistensial.
Setelah bertahun-tahun meneliti basis fisiologis tingkah laku hewan dan manusia, Buytendjik menemukan bahwa pemeriksaan fisiologis atas tingkah laku manusia tidaklah mmemadai. Sebagaimana dinyatakan oleh Buytendjik, „Tingkah laku tidak akan pernah bisa direduksi kedalam proses-proses fisiologis, dan tidak bisa diterangkan sebagai hasil integrasi reflek-refleks“. Buytendjik tidak membuang pendekatan fisiologis melainkan mencoba mengintegrasikannya dengan studi fenomenologis tentang manusia.
Buytendjik menekankan bahwa psikologi harus memusatkan perhatiannya pada manusia sebagai mahluk yang mengada dalam dunia. Menurut pendapatnya, Kita berhutang kepada Husserl bagi pengembangan psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang manusia dan tentang dunia manusia. Studi-studi fenomenologis Buytendjik mencakup penelitian tentang gestur dan gerak manusia, psikologi wanita, ekspresi-ekspresi artistik, kesakitan, sentuhan, perasaan-perasaan, dan emosi-emosi, juga tentang tarian, dan olah raga. Bukunya yang berjudul Women (1958) adalah salah satu contoh yang jelas dari studi fenomenologis yang canggih tentang sifat biologis wanita, penampilan, dan corak keberadaan (ada-dalam-dunia).

Maurice Merleau-Ponty
Maurice Merleau-Ponty (1908-1961), pada usia 30 tahun telah diakui secara luas sebagai salah seorang filusuf Prancis kontemporer yang paling cakap. Filsafatnya dipandang sebagai integrasi fenomenologi dan psikologi yang paling orisinil dan berhasil. Banyak yang diharapkan darinya, akan tetapi kematiannya pada usia 53 tahun telah mengakhiri karirnya yang brilian.
Merleau-Ponty dilahirkan di Rocheford-sur-Mer, di pantai barat Prancis. Pertama kali dia ditunjuk sebagai guru besar filsafat di Universitas Lyon, kemudian menjadi guru besar di Universitas Sorbonne, dan akhirnya menjadi guru besar College de France, suatu kedudukan yang paling terhormat bagi seorang filusuf Prancis. Ia sangat terkesan dengan filsafat fenomenologisnya Husserl. Selain itu dia juga memiliki pengetahuan tentang psikologi moderen dan menghargai masalah-masalah yang ada didalamnya. Meskipun komitmennya lebih erat pada filsafat, dan membahas soal-soal psikologi hanya sebagai batu loncatan kedalam percakapan filosofis dan tulisannya banyak mengundang pemikiran para ahli psikologi.
Tulisan-tulisan Merleu-Ponty, lebih dari karya-karya fenomenologis yang lainnya, tidak hanya menghasilkan simpati dan dukungan bagi fenomenologi di Amerika, tetap juga menyajikan kerangka kerja filosofis ang paling jelas dan menarik bagi siapa saja yang meyakini nilai dan kegunaan pendekatan fenomenologis. Salah satu daya tarik Merleu-Ponty adalah pengenalannya terhadap aliran-aliran psikologi, berbagai penemuan eksperimental, juga terhadap neurology dan psikopatologi. Ia mengajukan referensi yang melimpah dari lapangan-lapangan yang dikenalinya itu, yang ia gunakan untuk mengilustrasikan sejumlah argumennya. Sasaran-sasaran kritikannya yang terdapat pada psikologi moderen adalah atomisme, intruksionisme, dan reduksionisme.
Merleu-Ponty mengungkapkan tujuan dan program pemeriksaannya: untuk memahami relasi-relasi antara kesadaran dan alam. Melalui alam, ia mencoba memahami segenap kejadian eksternal dalam relasi kausalnya. Bagi Merleu-Ponty, alam dan kesadaran berbeda secara mendasar, sebab kesadaran bukan subyek dari kausalitas. Dia mencapai kesimpulan seperti itu setelah mempelajari berbagai bentuk tingkah laku yang ia dekati dari sudut pandang behaviorisme. Tingkah laku itu selalu terstruktur, sehingga metode-metode yang digunakan dalam psikologi tidak cukup untuk mempelajari tingkah laku. Metode yang tepat untuk mempelajari tingkah laku adalah fenomenologi yang sistematik tentang persepsi. Menurut Merleu-Ponty, tingkah laku manusia terdiri dari tiga taraf, yaitu:
1.    Taraf fisik
2.    Taraf Vital (biologis)
3.    Taraf human (psikis)
Setiap taraf memiliki dinamikanya masing-masing, dan taraf yang paling tinggi dan paling spesifik pada manusia adalah taraf human (psikis) yang kehadirannya bergantung pada integrasi taraf-taraf lain yang lebih rendah. Dengan menekankan bahwa pemikiran tidak bisa direduksi kedalam realitas fisik, tetapi juga tidak bisa dipisahkan dari realitas fisik itu (Misiak dan Sexton, 2005).
Salah satu konsep yang ditekankan oleh Ponty adalah Lebenswelt, yaitu sebuah konsep yang pertama kali ia temukan dalam konsep tulisan-tulisan Husserl yang tidak diterbitkan. Lebenswelt yang sekarang ini sering diterjemahkan sebagai “dunia hidup” (life-World) dan kadang-kadang diterjemahkan sebagai “dunia kehidupan sehari-hari” (world of Everyday life), diasimilasikan oleh para fenomenolog yang lainnya. Dunia-hidup juga menerima berbagai penafsiran dalam literature fenomenologi eksistensial. Akan tetapi, secara umum dunia-hidup menunjuk kepada dunia sebagaimana yang dialami atau dipersepsi secara subyektif oleh individu.

B.VIII. Ciri-ciri Psikologi Fenomenologi
Terdapat konsepsi-konsepsi yang berbeda dan konsepsi-konsepsi yang keliru tentang psikologi fenomenologi. Dalam arti yang paling luas, suatu psikologi yang membahas pengalaman personal dalam buah pemikirannya, dan yang menerima dan menggunakan deskripsi fenomenologis, baik secara implicit maupun eksplisit, bisa disebut psikologi fenomenologi. Psikologi ini berlawanan dengan psikologi yang hanya mengakui observasi obyektif atas tingkah laku, dan menyisihkan introspeksi dan deskripsi fenomenologis dalam metodologinya.
Dalam arti yang paling sempit, psikologi fenomenologi adalah psikologi Husserl yang berdiri terpisah dari psikologi empiris dan berfungsi sebagai batu loncatan kepada bentuk fenomenologi yang lebih radikal, yaitu fenomenologi trasedental. Diantara psikologi Husserl dan fenomenologi transedental itu adalah konsep tentang psikologi yang:
  1. Mengikuti motto Husserl, “kembali kepada berbagai hal itu sendiri”, yang artinya memberikan berbagai hal (fenomena) memperlihatkan dirinya dalam kesadarannya.
  2. Melandaskan pembenaran filosofinya pada filsafat fenomenologi, dan secara luas dikonsepsikan sebagai studi tentang data dari kesadaran yang hadir segera atau langsung, dan validitasnya atas dasar inetnsionalitas
  3. Secara konsisten menerapkan metode fenomenologis, yakni mendeskripsikan fenomena secara tak berbias.
  4. Menempuh pengeksplorasian pengalaman manusia dalam segenap fasenya tanpa praduga-praduga filosofis.
Psikologi fenomenologi bukanlah suatu aliran atau system teoritis seperti asosianisme, psikologi Gestalt, atau psikoanalisis. Psikologi fenomenologi adalah suatu pendekatan, orientasi, dan metodologi dalam eksplorasi-eksplorasi psikologis. Dan yang paling vital bagi psikologi fenomenologi adalah asumsi bahwa segenap observasi dan teori ilmiah pada akhirnya berlandaskan pada pengalaman hidup sehari-hari yang langsung, segera, dan spontan, yang oleh fenomenologi disingkap sebagai sebuah kajian keilmuan[xiii].
Ciri-ciri berikut ini menunjukkan sifat psikologi fenomenologi berikut relasinya dengan pendekatan-pendekatan lain dalam psikologi:
  1. Metode dasarnya adalah metode fenomenologis yang telah dikemukakan sebelumnya. Metode-metode tambahan dan teknik-teknik yang baik bagi studi tentang pengalaman manusia dan relasinya dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, serta dengan dunia, secara sinambung dicari dan dikembangkan.
  2. Tujuannya adalah memahami manusia dengan segenap aspeknya.
  3. Minat utamanya terletak pada pengalaman manusia dan eksplorasi kualitatifnya. Psikologi fenomenologi juga mempelajari tingkah laku, tetapi menentang pembatasan yang ekslusif yang menganggap psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang hanya mempelajari tingkah laku dan pengendaliannya.
  4. Psikologi fenomenologi menolak segenap asumsi tentang sifat-sifat kesadaran, kecuali asumsi bahwa kesadaran itu intensional. Psikologi fenomenologi sangat menentang konsep tabula rasa tentang kesadaran, pandangan yang asosianistik dan seluruh kecenderungan reduksionis.
  5. Psikologi fenomenologi menyukai dan menekankan pendekatan holistik dalam mempelajari masalah-masalah psikologis.
Ciri-ciri tersebut diatas tidak semua ada pada setiap ahli psikologi fenomenologi. Kalaupun ada, ciri-ciri tersebut tidak menampakkan diri dalam pemikiran setiap ahli psikologi fenomenologi dalam derajat yang sama. Bagaimanapun, ciri-ciri tersebut cenderung melandasi, paling tidak secara implisit, pandangan-pandangan dan penyelidikan-penyelidikan para ahli psikologi fenomenologi. Pendekatan fenomenologis yang dewasa ini sering bercampur dengan orientasi eksistensial, telah diterapkan pada berbagai area psikologi secara teoritis, eksperimental, dan klinis. Para ahli psikologi fenomenologi menekankan bahwa psikologi mereka bukanlah suatu sistem yang tertutup, melainkan suatu gerakan yang selalu tumbuh dan meluas dalam dialektika yang berkesinambungan dengan orientasi-orientasi lain.

B.IX. Perkembangan Psikologi Fenomenologi di Eropa setelah perang dunia
Pada periode setelah perang dunia II, pengaruh fenomenologi pada berbagai area psikologi telah meningkat dibanyak negara di Eropa, diantaranya adalah:

Jerman
Tentang psikologi fenomenologi di Jerman, Spiegelberg menulis bahwa fenomenologi tampak dimana-mana, menembus hampir disemua buku teks, monograf, dan artikel. Dikalangan generasi ahli psikologi Jerman kontemporer dari generasi tua, telah mengasimilasi orientasi fenomenologis dan memadukannya kedalam karya mereka tentang berbagai masalah. Wellek (1904-1972) adalah guru besar psikologi dan direktur institut psikologi di Universitas Mainz. Teori kepribadian mendominasi minat Wellek, tetapi sepanjang karirnya ia juga mendalami sifat dan metodologi psikologi sebagai ilmu pengetahuan dan mempersepsinya dalam semangat fenomenologi. Wellek mendefinisikan psikologi bukan sebagai ilmu pengetahuan alam, dan bukan pula sebagai ilmu pengetahuan humanistik, melainkan sesuatu yang Sui generis, yang memiliki masalah-masalah spesifik dan metodenya yang subyeknya tetap, yaitu: pengalaman, tingkah laku, dan susunan mental.
Di kalangan generasi ahli psikologi Jerman yang lebih muda muncul tokoh: Carl F. Graumann (lahir tahun 1923), seorang direktur Institut Psikologi  di Universitas Heidelberg. Minatnya meliputi teori dan metodologi psikologi, persepsi sosial, dan psikolinguistik. Perlu diketahui bahwa area yang diminati oleh beberapa ahli psikologi yang berorientasi fenomenologis di Eropa adalah psikolinguistik, bersama dengan fenomenologi bahasa (Misiak dan Sexton, 2005).
Belanda
Negeri Belanda memiliki banyak fenomenolog yang cakap dan orisinil serta kelompok ahli psikologi fenomenologi yang produktif. Di negeri tersebut, unsur-unsur fenomenologi dan eksistensial bergabung didalam diri para ahli psikologi dan para filusuf sampai taraf tertentu, sehingga sulit untuk menetapkan apakah mereka itu fenomenolog ataukah eksistensialis. Buytendjik adalah contoh yang jelas dari penggabungan kedua pendekatan filsafat itu. Dikalangan ahli psikologi dan fenomenolog yang aktif terdapat Johannes J. Linschoten (1925-1964) yang menjadi direktur Laboratorium Psikologi Universitas Utrech. Ia membela anggapan yang menyebutkan bahwa penelitian eksperimental dalam psikologi dapat menjadi pasti dan berubah jika obyeknya didudukkan pada studi fenomenologis. Ia mengilustrasikan tipe studi ini dalam analisis fenomenologisnya yang mahir, satu diantaranya adalah fenomenologi tentang pengalaman jatuh dan tertidur seseorang.
Proporsi yang besar dari pengaruh fenomenologi Eropa atas psikologi Amerika datang dari negeri Belanda. Melalui buku-buku berbahasa Belanda yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, artikel-artikel yang ditulis para peneliti Belanda dalam jurnal-jurnal Amerika, kuliah-kuliah dari para guru besar dari Belanda, juga para ahli psikologi Amerika yang belajar psikologi di Belanda, dimana penyebaran pendekatan fenomenologis-eksistensial di Amerika sangat dibantu oleh ahli psikologi kelahiran Belanda, yang bernama Adrian van kaam.
Prancis
Para fenomenolog Prancis, khususnya Merleu-Ponty, sangat menaruh minat pada psikologi dan proses-proses psikologis seperti persepsi, ingatan, dan emosi. Ia memberikan pengaruh yang sangat besar bukan hanya di dalam negeri Prancis saja, namun juga sampai keluar negeri tersebut. Karya-karya para fenomenolog Prancis banyak yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, sehingga menarik kalangan ahli psikologi. Diantaranya adalah Simone de Beauvoir (lahir 1908), studi psikologisnya yang terkenal tentang wanita dan feminitas, yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul The scound Sex (1953), memperoleh penghargaan dari para ahli psikologi. Buku tersebut penuh pemahaman, dan menyajikan analisis yang menembus dan terbuktikan dengan baik.
Inggris
Salah satu tokoh psikologi Inggris yang telah berkenalan dengan fenomenologi adalah C.Spearman, yang menyatakan bahwa fenomenologi menemukan dukungan diberbagai tempat di Inggris. Harapan yang eksplisit atas landasan fenomenologi bagi Psikologi dapat ditemukan dalam artikel N.E. Wetherick yang menyimpulkan bahwa hanya asumsi-asumsi fenomenologi yang bisa memberikan harapan pada masa depan psikologi. Termasuk juga Ronald Laing, seorang psikiater Inggris yang telah menarik banyak perhatian dengan studi-studinya yang bertitik tolak dari fenomenologi dan eksistensialis.

B.X. Psikologi Fenomenologi di Amerika
 Selama tiga dasawarsa pertama abad ke-20, para ahli psikologi Amerika hampir tidak mengetahui tentang filsafat Husserl dan gerakan fenomenologi. Tidak ada iklim intelektual ataupun peristiwa-peristiwa didalam Psikologi Amerika yang kondusif untuk memperhatikan fenomenologi secara adil. Psikologi Amerika telah bergerak jauh dari psikologi Jerman dan mengembangkan karakter fungsionalnya sendiri. Di eropa, dimana psikologi memelihara hubungannya yang erat dengan  filsafat dan menolak kecenderungan behavioristik, maka fenomenologi memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menggunakan pengaruhnya terhadap pemikiran psikologi. Tidak sampai tahun 1920-1n dan 1930-an, ketika studi-studi psikologi Gestalt diterima dengan baik di amerika, metode fenomenologis yang dipraktekkan oleh para ahli psikologi Gestalt pun menerima reaksi yang lebih simpatik.
Masih sedikit para ahli psikologi Amerika yang mencoba melaksanakan penelitian fenomenologis, dan tidak banyak perhatian yang diberikan kepada penelitian semacam itu yang dilaksanakan di Eropa. Bagaimanapun, setelah perang Dunia II, pemikiran fenomenologis Eropa mulai menarik lebih banyak perhatian di negeri Amerika.
Diantara faktor-faktor penting dalam peningkatan minat para ahli psikologi amerika terhadap fenomenologi dan yang memungkinkan kehadiran fenomenologi lebih luas serta diketahui lebih baik adalah adanya peningkatan komunikasi intelektual antara Eropa dan Amerika, kontak pribadi yang lebih sering diantara para ahli psikologi dari berbagai negara, penerjemahan karya-karya utama fenomenologi kedalam bahasa Inggris dan yang paling penting adalah imigrasi para ahli psikologi Eropa, khususnya Jerman ke Amerika karena adanya ancaman pihak Nazi.
Banyak ahli psikologi Jerman dan Austria yang mengenal dan simpati kepada pemikiran fenomenologis yang menjadikan Amerika sebagai kampung halaman mereka. Sebagai tambahan pada para ahli psikologi Gestalt seperti: Kohler dan Wertheimer, Solomon Asch, Karl Duncker, dan Kurt Lewin. Selain itu terdapat juga para ahli psikologi Jerman dan Austria yang terkemuka, diantaranya adalah: Rudolf Allers, Magda Arnold, Martin Scherer, dan Heinz Werner. Bagaimanapun, sejumlah ilmuan dan filusuf Jerman terkemuka yang berasosiasi dengan fenomenologi Eropa dan memiliki reputasi yang mapan bermukim di Amerika, dimana mereka memperluas gerakan fenomenologi melalui tulisan-tulisan, kedudukan akademis, dan berbagai aktivitas lain. Contohnya adalah: Erwin Straus; seorang psikiater, Aron Gurwitsch; seorang filusuf, dan Kurt Goldstein; ahli psikologi dan psikopatologi. Sehingga metode fenomenologi terus berkembang di Amerika[xiv].

C.  KESIMPULAN
Fenomenologi dalam arti luas adalah suatu filsafat yang berpegang pada motto Husserl ”kembali kepada berbagai hal itu sendiri”, yang bisa diartikan sebagai deskripsi yang bisa dipercaya dan tidak menyimpang tentang kesegaran kesadaran. Jadi fenomenologi pada prinsipnya adalah suatu metode: 1) intuisi langsung sebagai sumber utama pengetahuan, 2) atudi intuitif atas esensi-esensi. Metode ini diambil oleh berbagai orientasi filosofis yang secara bersama disebut gerakan fenomenologi. Gerakan ini dirintis oleh Franz Brentano (1836-1917), dan dilanjutkan serta didirikan oleh Edmund Husserl (1859-1938).
Pada perkembangannya fenomenologi memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi psikologi, dimana psikologi fenomenologi adalah suatu pendekatan atau orientasi dalam psikologi yang terdiri dari eksplorasi tak berbias atas kesadaran dan pengalaman. Fenomena diintuisikan, dianalisis, dan dideskripsikan sebagaimana fenomena itu hadir dalam kesadaran tanpa praduga-praduga. Fungsi psikologi fenomenologi bukanlah menggantikan gerakan-gerakan atau orientasi-orientasi psikologi lain, melainkan melengkapinya. Diantara tokoh-tokoh psikologi fenomenologi adalah: Fenomenologi eksperimental: Aliran-aliran Gottingen dan Wurzburg, David Katz, aliran Gestalt, Albert Michotte, Orientasi teoritis: Maurice Merleu-Ponty, F.J.J. Buytendjik, dan lain-lain.
Pada awalnya psikologi fenomenologi berkembang di Eropa, kemudian berkembang di Amerika yang diawali dengan kedatangan para sarjana imigran Eropa yang melarikan diri ke Amerika karena mendapat tekanan dari Nazi Jerman. Mereka datang ke Amerika dengan membawa aliran Gestalt, filsafat fenomenologi, dan pendekatan eksistensial. Para ahli psikologi dan filusuf kelahiran kelahiran Eropa seperti Kurt Goldstein, Erwin Straus, dan Aron Gurwitsch adalah para pelopor berdirinya psikologi fenomenologi di Amerika. Sumbangan dari psikologi fenomenologi diantaranya: persepsi, teori dan penelitian kepribadian, dan klinis.

DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, Harun. 2002. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius. Yogyakarta.
Indi Aunullah. Kumpulan Tulisan On Phenomenology: dikumpulkan dari Stanford Encyclopedia of Philosopy. http://Plato.Stanford.edu. Tidak dipublikasikan.
Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Misiak dan Sexton. 2005. Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik, Refika aditama. Bandung
Spiegelberg. 1971. The Phenomenological Movement, The Hague, Nijhoff. Dalam http// www. Journal. Com. Diakses 02 Desember 2012.




[i] Penulis adalah dosen Psikologi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN “SMH” Banten
[ii] Kumpulan tulisan “On Phenomenology” http:// plato Stanford.edu (tidak dipublikasikan)
[iii] Hadi Wijono, sari sejarah filsafat barat 2, 2002
[iv] Kumpulan tulisan “On Phenomenology” http:// plato Stanford.edu (tidak dipublikasikan)

[v] Henryk Misiak, V.S. Sexton, Psikologi fenomenologi, eksistensialis dan humanistic, 2005
[vi] Kumpulan tulisan “On Phenomenology” http:// plato Stanford.edu (tidak dipublikasikan)

[vii] Henryk Misiak, V.S. Sexton, Psikologi fenomenologi, eksistensialis dan humanistic, 2005

[viii] Henryk Misiak, V.S. Sexton, Psikologi fenomenologi, eksistensialis dan humanistic, 2005

[ix] Kumpulan tulisan “On Phenomenology” http:// plato Stanford.edu (tidak dipublikasikan)
[x] Spiegelberg, The Phenomenological Movement, 1971
[xi] Kumpulan tulisan “On Phenomenology” http:// plato Stanford.edu (tidak dipublikasikan)
[xii] Spiegelberg, The Phenomenological Movement, 1971

[xiii] Spiegelberg, The Phenomenological Movement, 1971

[xiv] Spiegelberg, The Phenomenological Movement, 1971

0 comments:

Post a Comment